Adzraa Andira: Better to Try than Nothing At All

Sumber: Dokumen pribadi

Sebagai seorang mahasiswa, terkadang kita ingin terus mencoba hal-hal baru dan selalu mengambil setiap kesempatan yang ada di depan mata, tetapi bagaimana jika kesempatan itu mengharuskan kita pindah 11.329 km dari rumah? Inilah yang dihadapi oleh Adzraa Andira, mahasiswi HI Unpar angkatan 2019 yang berhasil menjadi penerima beasiswa IISMA Kampus Merdeka ke Maastricht UniversityBelanda. Dirinya tidak pernah sekalipun terbayang untuk mengikuti program pertukaran pelajar, tetapi siapa sangka sekarang ia merantau di negara kincir angin tersebut. Lalu, bagaimana perjalanannya selama mempersiapkan diri menjadi IISMA dan pengalamannya di Belanda sejauh ini?

“Aku paling kalau di Unpar, lagi-lagi belajar ya.” Dari awal, Adzraa memang sudah menaruh fokus pada sektor akademiknya. Ia juga aktif di berbagai kegiatan kepanitiaan dan mengikuti organisasi, seperti KSMPMI di HMPSIHI dan BEM Unpar. Walaupun tidak direncanakan sebelumnya, namun keinginannya untuk mengikuti pertukaran pelajar IISMA semakin kuat karena kemauannya untuk mencoba pengalaman baru dan cita-citanya melanjutkan gelar master ke luar negeri. Meskipun ia baru mengetahui adanya program ini satu hari sebelum penutupan pendaftaran delegasi IISMA di Unpar, hal tersebut tidak mengurungkan niatnya untuk mencoba kesempatannya dan langsung menyiapkan semua berkas yang diperlukan. Ia bahkan rela menyetir dari Palembang ke Jakarta untuk mengikuti tes IELTS sebagai salah satu persyaratan. “It was quite hectic,” ujarnya, apalagi pada saat itu bertepatan dengan Ujian Tengah Semester.

Sumber: Dokumen pribadi

Ketertarikannya untuk mengambil hukum internasional dan perdagangan membawanya ke Maastricht University sebagai salah satu universitas dengan jurusan hukum terbaik di Belanda. “Maastricht punya honorary program buat ilmu sosial dan liberal arts yang katanya emang bagus banget, makanya akhirnya aku pilih ke sini. Aku juga punya banyak teman dan keluarga, jadi orang tuaku gak terlalu deg-degan waktu aku di sini karena banyak yang ngawasin juga,” ucapnya sambil terkekeh.

Walaupun belajar tetap menjadi prioritas utama Adzraa selama pertukaran pelajar, kesehariannya tetap dipenuhi dengan padatnya jadwal organisasi di luar kampus. Di organisasi yang diikutinya, yaitu Amnesty International Maastricht (AIM), Adzraa tergabung menjadi bagian Academic Events yang bertugas membuat artikel blog, merancang lecture, dan mengundang pembicara. Ia juga menceritakan pengalaman menariknya mengikuti ekskul panjat tebing di sana. “Never in my life I imaginetapi aku tiba-tiba aja ikut ekskul panjat tebing. kayak, come on! It’s not a thingBut here I am.” pungkasnya antusias.

Layaknya setiap perjalanan, dalam pengalamannya bersekolah di Belanda, Adzraa juga menemui berbagai tantangan. Mulai dari kompleksnya birokrasi saat awal kedatangan karena situasi pandemi, perbedaan kebiasaan dan kultur masyarakat, hingga tantangan dalam mencari teman dengan visi yang sama di perkuliahan. Di samping hal-hal tersebut, salah satu tantangan terberat yang dilaluinya adalah adaptasi dengan workload yang harus dipenuhinya selama belajar di sana. Kultur dan atmosfer belajar yang sangat intens dan fast-paced, membuat Adzraa sempat merasa terintimidasi dan berada di titik rendah dirinya. Belum lagi materi bacaan yang mencapai 800-1000 halaman dalam satu minggu yang harus dipahaminya secara mendetail dan mendalam. Hal ini berbeda dengan apa yang ia antisipasikan sebelumnya.

Ketika ditanya apakah ia pernah merasa tertekan dengan semua workload tersebut, ia menjawab “Every single day. Especially in the first one month.” Namun, ia memutuskan untuk tidak berhenti di sana. “I pick myself up.” Tantangan ini membantunya belajar untuk melihat bahwa segala sesuatunya merupakan proses yang tidak dapat dicapai secara instan. Ada milestone demi milestone yang harus dilewati secara bertahap dan dalam mengarunginya kita juga harus tetap bersabar dengan progress yang kita capai. Ia belajar untuk bertransformasi dari pribadi yang awalnya perlu melakukan dan mengeksekusi sesuatu dengan sempurna, menjadi pribadi dengan mentalitas baru yang lebih nekat: coba dulu aja. Kalaupun pada akhirnya ia tidak dapat mengerjakan semuanya dengan sempurna, “it’s (still) better to try, than nothing at all.” jawabnya santai.

Sumber: Dokumen pribadi

Meskipun berada sangat jauh dari rumah, Adzraa mengaku tidak merasa sendirian atau mengalami homesick, seperti yang ditakutinya. Masyarakat di sana dan teman-teman di sekitarnya sangat ramah, terbuka, dan hangat menyambut kedatangan dirinya dan juga para pelajar internasional yang belajar di Maastricht. Kehangatan ini ia rasakan dari gestur sederhana, seperti sapaan selamat malam dari orang asing saat di kereta, hingga teman-teman sekitarnya yang memberikannya berbagai hadiah dan undangan makan malam menjelang perayaan natal, sekalipun Adzraa sendiri tidak merayakan natal. “It’s not about the chocolate, even though it’s so good,” ucapnya sambil tertawa. “But they include me in the celebration,” lanjutnya.

Di samping orang-orangnya, Adzraa juga mengaku atmosfer dan budaya masyarakat di sana menjadi daya tarik tersendiri yang membuatnya jatuh cinta pada kota tersebut. Salah satu pengalaman memikat yang dibagikannya adalah ketika ia pertama kali menyaksikan salju, “yang basically itu kan es serut yang turun dari langit, ya. Tapi saat lihat pertama kali tuhwow… speechless,” kenangnya. Menjelang natal, lampu dan dekorasi natal menghiasi setiap penjuru kota, dipadukan dengan arsitektur kota khas Eropa, menjadikannya sebuah pemandangan yang sangat indah untuk dinikmati mata. “It feels like you are on the other side of the world, so far from home, yet it doesn’t feel miserable at all. It feels magical.

Setelah season yang dijalaninya ini, Adzraa merasa dirinya mendapatkan sangat banyak pembelajaran baru. Ia mengaku bahwa hal itu sangat klise, namun hal tersebut yang memang dialaminya. Ia mendapatkan sudut pandang baru dari orang-orang dengan latar belakang yang sangat beragam yang ia deskripsikan dengan frasa ‘eye-opening,’ dan menjadi bagian dari diskusi akademik yang hidup dengan partisipan yang terbuka dan antusias. Selain itu, ia juga bertukar pengalaman dan pembelajaran dalam kegiatan organisasi, di mana perasaan inferior atau self-stigmatizing yang sempat ia sematkan pada dirinya sebagai orang Indonesia dipatahkan dan malah dibuktikan dengan kualitas dan standar kerja dirinya yang tetap dapat berkontribusi dengan baik dalam proyek-proyeknya di sana.

Despite the struggles, you will not regret this at all,” pungkasnya. Adzraa melihat keseluruhan perjalanannya di Maastricht sebagai pengalaman yang luar biasa dan life-changing, karenanya ia berencana untuk mendaftar di program pertukaran selanjutnya di tempat yang berbeda. Sebagai penutup, ia menambahkan, “Self-doubt is normal. Being rational is one thing, but you still have to remember that these types of opportunities don’t really come everyday. So, rather than overthinking about it, just try it,” tegasnya sambil tersenyum.