(tulisan ini merupakan bagian dari serial #YourStoriesMatter. Kamu juga bisa mengirimkan tulisanmu di sini).
Nama gue Ignatius Wiradhi Kristianto, akrab disapa Adhi. Gue adalah seorang pemeluk agama Katolik. Di tempat gue tinggal, yaitu di Cimahi, pemeluk agama Katolik adalah minoritas. Dulu gue pernah mengikuti bimbingan belajar di salah satu tempat bimbingan belajar ternama di Cimahi. Gue mengikuti program bimbingan belajar itu bersama dengan teman-teman sekolah, dengan harapan bisa satu kelas dengan mereka. Tapi ternyata, gue ditempatkan di kelas yang berbeda dengan mereka.
Kejadian terkait rasisme yang gue alami berawal ketika guru di tempat bimbingan belajar itu melakukan panggilan absensi di kelas dengan memanggil nama panjang setiap muridnya. Bagi teman – teman yang gak tahu, dalam nama panjang gue terdapat sebuah nama baptis, yaitu Ignatius. Nama baptis adalah nama orang suci yang diberikan ketika seseorang dibaptis atau masuk ke dalam Gereja Katolik. Oleh karena itu, nama baptis ini merupakan sebuah nama yang sakral.
Tapi, kesakralan nama ini memang gak diketahui oleh semua orang. Saat sang guru memanggil nama lengkap gue, semua teman sekelas menunjukan ekspresi kebingungan. Tiba – tiba, salah satu murid di kelas tersebut, yang kebetulan berbeda imannya, mulai memanggil gue dengan sebutan “Idaktus!” plesetan dari Ignatius. Mungkin bagi mereka terdengar lucu, makanya teman-teman lainnya pun mulai mengikuti memanggil gua dengan sebutan yang sama.
Lain halnya untuk gue. Ketika gue mendengar plesetan tersebut, rasa marah dan tidak terima muncul. Sebuah nama yang untuk gue sakral, tapi seakan jadi lelucon saja buat yang lain. Tapi, gak banyak yang bisa gue lakukan–gue hanya bisa diam. Gue sadar bahwa gue hanya seorang diri dan tentunya akan kalah jika harus menghadapi mereka. Sejak saat itu, gue menjadi murid yang pendiam di kelas dan mengerjakan berbagai tugas sendirian.
Tak cukup sampai di situ, hal serupa menimpa gue dan teman-teman. Saat itu, dalam kegiatan doa bersama, seluruh murid kelas 6 dikumpulkan di lapangan. Kami semua hening mengikuti si pemimpin doa. Ketika doa selesai dipanjatkan, mulai terdengar teriakan “Alleluya! Alleluya!” berulang kali. Entah siapa yang memulainya, namun teriakan ini mulai diikuti oleh murid-murid lainnya. Hal ini berlangsung selama satu tahun ajaran.
Sejak saat itu, mereka kehilangan respect gue. Bahkan sekelompok murid tadi masih berlanjut meneriaki kami “Alleluya! Alleluya!” saat jam pulang sekolah. Ada orang tua murid dan guru yang melihat kejadian tersebut, tapi tak ada yang melakukan apapun. Seruan yang merupakan sebuah pujian bagi Yang Maha Kuasa, didegradasi menjadi ejekan semata. Sejak kejadian tersebut, barulah teman-teman seiman gue yang belajar di tempat bimbingan belajar ini saling menceritakan peristiwa serupa yang mereka alami. Hal itu membuat gue merasa marah dan sedih di saat yang bersamaan.
Kejadian yang dialami oleh George Floyd membuka mata kita dan membuat kita sadar bahwa rasisme masih ditemukan di kehidupan sehari-hari. Memang, gue tidak mendapatkan kekerasan secara fisik sampai meninggal dunia. Tapi kejadian ini membuat gue berpikir: apakah sebenarnya rasisme sebuah hal yang normal dilakukan oleh mereka yang mayoritas terhadap minoritas? Kesalahan seperti apa yang pernah kami, kelompok minoritas, lakukan, sampai perlu merasakan perlakuan seperti ini dari kalian?
Tidak ada yang layak diperlakukan secara diskriminatif. Kirim tulisanmu sekarang, karena #YourStoriesMatter dan sekarang adalah #SaatnyaBerhenti.