Menginjakkan kaki di negeri Paman Sam mungkin telah menjadi mimpi banyak orang. Selayaknya membayangkan diri berfoto di depan patung Liberty, menyusuri kota New York, hingga menikmati salju di musim dingin. Sebuah keberuntungan bagi Aloysius Efraim, ia berkesempatan untuk membawa nama baik Universitas Katolik Parahyangan ke Amerika Serikat hingga dua kali semasa kuliahnya. Di usia yang masih muda, Efraim telah memiliki segudang pengalaman dalam hidupnya. Hal ini membuat orang bertanya-tanya—bagaimana caranya?
Siapa sangka bahwa hal yang memotivasi Efraim adalah keraguan masyarakat atas pilihannya untuk memasuki Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Bukan hal yang baru bagi Gen Z ketika mendengar stereotip keunggulan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) apabila dibandingkan dengan PTS. “The gap is real. Aku ingin membuktikan bahwa walaupun aku di PTS, kualitas diriku nggak kalah kok dengan mahasiswa PTN di luar sana,” ujar penggemar Taylor Swift tersebut.
Rasa ingin membuktikan kualitas dirinya kemudian mendorong Efraim untuk menjadi seseorang yang haus akan pengalaman. Walaupun begitu, ia mengaku bahwa ia tidak selalu memiliki big goal dalam hidupnya. Namun, ia selalu menyadari bahwa ia memiliki goal jangka pendek yang menurutnya harus dicapai. “Dengan begitu, I tried to seize every opportunity that comes in my way,” kenangnya. Tanpa memiliki keraguan terhadap dirinya sendiri, Efraim tidak segan-segan untuk selalu mengambil kesempatan yang ada. Sebab, ia yakin bahwa dirinya memiliki kapabilitas untuk menyelesaikan tanggung jawabnya.
Efraim dapat dikatakan sebagai orang yang diberkahi, sebab tidak sedikit ekspektasinya yang terpenuhi semasa kuliah. Ia bercerita bagaimana ia sempat tidak menyangka bahwa ia memperoleh penghargaan Diplomatic Commendation dari Harvard National Model United Nations (HNMUN) 2019, menjadi pemimpin redaksi Warta Himahi, mendapatkan kesempatan pertukaran pelajar ke Jerman, bahkan mendapat penghargaan Pemilihan Mahasiswa Berprestasi Nasional 2020 juara 4. Seperti kota New York—hidupnya bergerak begitu cepat dan padat. Namun ada yang janggal, bukankah kisahnya terdengar terlalu sempurna?
“Aku tipe orang yang nggak gampang puas. Ekspektasiku cukup tinggi untuk diriku sendiri.” Efraim mengaku bahwa ia kesulitan menghentikan dirinya dari menginginkan sesuatu yang lebih. Kebiasaan tersebut membuat lelaki berkacamata ini khawatir apabila ekspektasi yang ia miliki secara tidak sadar telah memberikan terlalu banyak tekanan bagi orang lain, bahkan dirinya sendiri.
Bagi Efraim, perihal akademik bukanlah tantangan besar yang ia dihadapi. Justru kehidupan pertemanan lah yang menjadi masalah baginya. Beberapa yang membuat ia sadar akan kekurangan ini adalah ketika ia pulang pertukaran pelajar dari Jerman, teman-temannya di Indonesia sudah banyak berubah. Efraim pun menyadari bahwa sebelum keberangkatannya, memang pertemanan yang ia miliki terkadang hanya sebatas teman ‘makan’ ataupun lomba. “Friends aren’t always there. Tapi aku jadi bisa membedakan mana yang sahabat, teman, atau kolega,” ujarnya.
Keseimbangan antara kehidupan sosial, hubungan, dan pekerjaan memang merupakan kondisi ideal yang seharusnya dicapai. Namun, Efraim mengaku bahwa kondisinya pun tidak seimbang. Mengingat hubungan yang ia miliki seringkali hanya seputar pekerjaan, ia menyayangkan bahwa teman yang ia miliki hanyalah hitungan jari. “Tapi ada sisi baiknya juga. Aku jadi sadar lebih awal siapa teman yang harus aku pertahankan, dan siapa yang tidak.” Walaupun begitu, Efraim tidak bisa menyalahkan teman-temannya. Ia sadar bahwa kehidupan akan terus berjalan, orang-orang dapat berubah, begitu juga dengan dirinya.
Efraim mengenang bagaimana kehidupan kuliahnya berjalan begitu cepat, fast-paced. Jauh berbeda dengan kehidupan yang ia jalani saat ini. Ia mulai memperlambat laju kehidupannya, walau perubahan ini lagi-lagi bukanlah hal yang ia nikmati di awal. Lama kelamaan, ia mulai terbiasa untuk menikmati hal-hal yang sebelumnya tidak ia rasakan. Ketika dahulu ia hanya fokus terhadap dirinya sendiri, sekarang ia memiliki waktu untuk terbuka dengan orang lain, “Yang aku sadari, ternyata kita bisa enjoy dengan keberadaan orang lain.”
“You can’t have it all.” Dalam hidup, akan selalu ada yang harus kita korbankan untuk mencapai sesuatu. Begitu juga dengan Efraim yang harus mengorbankan beberapa bagian dari kehidupan sosialnya untuk mencapai mimpinya. Ia mengatakan, “Aku ingin suatu hari aku bisa bangga dengan diriku sendiri, atas apa yang telah aku lakukan maupun sedang lakukan.”
Lantas, atas semua yang telah dicapai, apa target yang ingin dicapai oleh Efraim saat ini? Menurutnya, sekarang ia tidak memiliki target konkret seperti yang pernah ia miliki ketika berkuliah. Saat ini Efraim hanya menginginkan hidup dengan lebih santai, melakukan pekerjaan dengan baik, dan memiliki hubungan yang lebih stabil. Ia mencoba menikmati hal-hal yang saat ini sedang ia hadapi, “Kalau kata orang zaman sekarang sih mindfulness,” tuturnya. Baginya, sukses adalah ketika ia telah menemukan rasa nyaman.
Efraim merasa cukup beruntung untuk mengetahui apa yang ia suka dan tidak suka sejak awal. Sebab ia menyadari bahwa banyak Gen Z di luar sana yang kesulitan untuk mengetahui minat maupun bakat mereka. Suatu cara pikir yang selalu ditanamkan oleh Efraim apabila menemukan hal baru ialah untuk mencari celah dari hal tersebut. Kemudian, ia akan berusaha menutupi celah itu melalui ilmu dan pengetahuan yang ia miliki. Efraim membeberkan sedikit tips bagi KawanWH, “Try a lot of things. Everything. Dari situ, kamu bisa tau apa yang betul-betul menjadi minat kamu.”