Di tengah demonstrasi anti-pemerintah yang terus terjadi, pada Kamis (22/10) Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-o-cha resmi mencabut dekrit darurat yang ditandatanganinya sendiri pada Kamis (15/10) lalu. Dekrit darurat ini dikeluarkan sebagai respons dari demo besar-besaran di Bangkok. Di dalamnya, diatur larangan berkumpul untuk empat orang atau lebih, dan pemberlakuan jam malam. Pemerintah juga memberikan kekuasaan kepada aparat keamanan untuk menahan individu yang telah dicurigai selama 30 hari tanpa memberikan mereka akses ke pengacara. Dekrit ini juga mengatur pembatasan informasi guna mencegah timbulnya ketakutan publik dan berita palsu. PM Chan-o-cha menyampaikan bahwa dekrit dikeluarkan untuk menjaga perdamaian dan ketertiban dalam negeri serta memastikan perekonomian negara yang terkena dampak Covid-19 tidak semakin terpuruk.
Pencabutan dekrit tersebut bertujuan untuk meredakan situasi di Thailand saat ini, karena PM Chan-o-cha berharap tak ada lagi insiden kekerasan yang terjadi selama demonstrasi. Ia meminta para demonstran untuk menyampaikan pendapat melalui perwakilan di parlemen, bukan dengan cara demo. PM Chan-o-cha menilai bahwa saat ini, situasi genting telah mereda dan berakhir. Keadaan pun bisa kembali dikendalikan melalui penegakan hukum biasa.
Walau begitu, semenjak diberlakukan sampai dicabut kembali, dekrit darurat tersebut tak memadamkan semangat perubahan dari puluhan ribu demonstran. Mereka tetap berkumpul dan mendesak PM Chan-o-cha agar segera turun dari jabatannya. Terlebih lagi, keadaan semakin memanas karena beberapa tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Thailand, seperti menangkap pemimpin aktivis, investigasi terhadap media yang meliput demo, serta pemblokiran platform komunikasi Telegram.
Demonstrasi di Thailand telah berlangsung sejak pertengahan Juli. Aksi yang didominasi oleh anak muda tersebut dipicu karena enam alasan, termasuk pembubaran partai politik Future Forward yang menjadi aspirasi politik kaum muda; dugaan kecurangan dari hasil pemilihan umum 2019; adanya keinginan untuk mereformasi peran monarki; serta keinginan untuk mengubah UU Pencemaran Nama Baik Kerajaan. UU Pencemaran Nama Baik Kerajaan atau lebih dikenal Hukum Lese-Majesete, dinilai sebagai hukum yang paling ketat di dunia. Hukum tersebut melarang penghinaan terhadap anggota kerajaan Thailand, dengan hukuman penjara selama 15 tahun bagi yang melanggar. Banyak kritikus berpendapat bahwa hukum itu digunakan untuk membatasi kebebasan berpendapat rakyat.
Para aktivis menganggap pemerintahan Thailand terlalu otoriter, dan berharap monarki dapat beradaptasi dengan zaman modern, serta meminta agar konstitusi yang ada bisa mengadopsi nilai-nilai demokrasi. Sejak 13 Oktober lalu, seorang pengacara Hak Asasi Manusia Thailand mencatat terdapat 87 orang yang ditangkap.
Pada Senin (26/10), Pemerintah Thailand akan melaksanakan sesi parlemen luar biasa untuk membahas tuntutan-tuntutan dari para demonstran. Namun, merespon permintaan agar dirinya mundur, PM Chan-o-cha tetap tegas mengatakan bahwa dirinya tidak akan mundur pada Jumat (16/10).