ASEAN-China Survey 2022 Tekankan Pentingnya Kerja Sama di Tengah Ketegangan Geopolitik

Dalam mengobservasi persepsi masyarakat Asia Tenggara terhadap Tiongkok di tengah dinamika geopolitik, Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) kembali merilis ASEAN-China Survey Edisi Ketiga yang bertajuk ASEAN-China Survey 2022: Managing Cooperation Amidst Geopolitical Tension” pada Senin (31/10) lalu. Survei ini dirancang untuk mendapatkan ukuran persepsi tentang kerja sama ASEAN-Tiongkok, serta memberikan rekomendasi kebijakan berdasarkan hal tersebut.  

Diikuti oleh 1.658 responden dari sepuluh negara anggota ASEAN, survei ini bertujuan untuk menilai dan memperbarui perspektif Asia Tenggara tentang hubungan ASEAN-Tiongkok yang mencakup isu-isu seperti keamanan, politik, perdagangan, ekonomi, sosial budaya, COVID-19, dan isu-isu strategis lainnya. Acara tersebut dibuka dengan sambutan oleh Dr. Dino Patti Djalal, Pendiri dan Ketua FPCI, terkait tujuan dari survei ini. “Melalui survei ini kami dapat mengidentifikasi dan menganalisis tantangan, tren, peluang, serta prospek utama kerja sama ASEAN dan Tiongkok,” ujar Dr. Dino. 

Kemudian sambutan dilanjutkan oleh Deng Xijun, Duta Besar Republik Rakyat Tiongkok untuk ASEAN. Deng Xijun mengatakan bahwa dalam menghadapi situasi baru, Tiongkok siap bekerja sama dengan ASEAN dengan menggunakan “triple C” (Commitment, Cooperation, dan Confidence). Tiongkok juga akan dengan teguh mengambil ASEAN sebagai prioritas tinggi dalam neighborhood diplomacy-nya. “Filosofi pembangunan Tiongkok dan ASEAN bersikeras bahwa pembangunan harus bermanfaat bagi kepentingan semua orang. Kami menghargai visi perdamaian yang sama dan berharap untuk mempertahankan perkembangan damai yang hangat di wilayah tersebut,” ujar Deng Xijun.

HASIL SURVEI

Sesi selanjutnya adalah pemaparan hasil survei dari Dr. Sophon Albana, Supervisor Program Survei ASEAN-Tiongkok. Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa kerja sama yang paling memuaskan adalah kerja sama dalam bidang perekonomian. Sementara itu, area kerja sama yang kurang memuaskan ada pada isu pertahanan dan keamanan, keamanan siber, lingkungan (perubahan iklim), kejahatan transnasional, serta imigrasi. Survei juga menemukan bahwa di tengah ketidakpastian, sebagian besar responden masih melihat pentingnya menjaga dan mengembangkan hubungan yang kuat dan saling menguntungkan dengan Tiongkok. Tingginya angka “netral” dalam pertanyaan terkait isu keamanan dan persepsi mereka terhadap Tiongkok menunjukkan bahwa hubungan ASEAN dan Tiongkok merupakan hubungan yang kompleks. Oleh karena itu, rekomendasi yang perlu dilakukan di tengah meningkatnya ketegangan politik adalah ASEAN dan Tiongkok harus mengembangkan rasa saling percaya.

Pada akhir sesi ini, Dr. Sophon juga mengatakan bahwa survei tersebut penting dilakukan untuk memahami kompleksitas keragaman perspektif Asia Tenggara. “Hubungan ASEAN dengan Tiongkok adalah hubungan yang paling penting bagi kawasan, dan telah berkembang secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Namun, hal ini tidak selalu mulus, sehingga perlu memahami hubungan ASEAN-Tiongkok dengan memahami nuansa kompleksitas keragaman perspektif Asia Tenggara, yang pada gilirannya akan membantu para pembuat kebijakan dan masyarakat umum untuk lebih memahami hubungan keduanya,” ujarnya. 

Kemudian kegiatan dilanjutkan dengan sesi diskusi panel dengan tiga panelis terkemuka, yaitu Dr. Sheila Devi Michael (Dosen Senior di Departemen Studi Internasional & Strategis Universitas Malaya), Dr. Renato Cruz De Castro (Guru Besar di Departemen Studi Internasional De La Salle University), dan Bapak Endy Bayuni (Editor Senior di The Jakarta Post). Pada sesi ini, para panelis membahas mengenai hasil survei dan korelasi temuan survei dengan perkembangan dinamika politik kawasan. Ketiga panelis setuju bahwa cara responden menjawab pertanyaan menunjukkan bahwa di antara elit politik dan ASEAN, mereka mendukung gagasan bahwa Tiongkok memainkan peran sebagai great power yang bertanggung jawab. Namun, dalam kerja sama multilateral ini tetap diperlukan sebuah Balancing Act. “Poin-poin kunci di sini seperti yang kami bertiga sebutkan, tanggung jawab ada di tangan Tiongkok, tidak hanya sebagai mitra, tetapi juga sebagai kekuatan besar di abad ke-21. Apakah Tiongkok akan dilihat sebagai kekuatan besar yang bertanggung jawab akan tergantung pada bagaimana Tiongkok mengelola hubungannya dengan anggota ASEAN,” tegas Dr. Renato. (NA)