(tulisan ini merupakan bagian dari serial #YourStoriesMatter. Kamu juga bisa mengirimkan tulisanmu di sini).
“Kamu nanti kalau sudah besar, jangan pelit seperti keluargamu yang Cina itu. Ingat bahwa kita itu diajarkan untuk dermawan, selalu berbagi kepada orang lain.”
Demikian ucap salah satu anggota keluarga yang sangat dihormati kepada saya sore hari itu, tepat beberapa jam setelah upacara pemakaman nenek berlangsung. Sembari mengangguk pelan, saya mengiyakan perkataannya. Sebuah nasihat yang membumi, namun siapa sangka terdapat bibit-bibit rasa tidak percaya – bahkan cenderung menjurus kepada suatu pernyataan diskriminatif berbalut kilaunya moralitas.
Saya meyakinkan diri bahwa apa yang dimaksud oleh beliau memiliki tujuan baik, namun entah mengapa secara bersamaan terasa kejanggalan mengganjal di dalam penyampaiannya. Persepsi-persepsi yang terselip dalam nasihatnya mungkin sudah terlebih dulu tumbuh subur di kalangan orang-orang jauh sebelum saya lahir, mengingat Indonesia adalah negara yang berdiri di atas kemajemukan penduduknya. Secara kebetulan, saya menjadi salah satu bagian dari masyarakat yang turut merasakan hal itu secara langsung – dengan lahir ke dalam keluarga beretnis campuran.
Mungkin hal tersebut pernah dirasakan oleh teman-teman pembaca yang tumbuh dalam keluarga dengan etnis beragam, bahwa terdapat suatu persepsi yang memberikan kesan negatif terhadap etnis tertentu. Memang, hal tersebut tidak terlepas dari permasalahan yang kerap timbul tempo waktu, dilakukan oleh seseorang atau kelompok sehingga memunculkan pandangan dengan kesan merendahkan. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, pandangan tersebut berevolusi menjadi pola pikir berbasis identifikasi ciri-ciri dari pelaku yang berujung dengan tindakan pembenaran bahwa perilaku buruk itu hanya dilakukan oleh etnis tertentu.
Siapa yang menyangka bahwa dari pendapat seperti demikian, muncul bibit-bibit diskriminasi antaretnis, dan lebih buruknya lagi hal tersebut terjadi di Indonesia – yang notabene dijadikan atap berlindung oleh ragam masyarakat. Hal ini menjadi sumber ketidaknyamanan pribadi serta memunculkan pertanyaan yang kerap timbul tenggelam di dalam pikiran saya: Apakah lingkungan kita sudah tidak aman lagi dari diskriminasi?
Nasihat yang tertuju kepada saya tempo waktu hanya menjadi setitik air di antara hamparan samudera kasus diskriminasi yang pernah terjadi. Kasus-kasus tersebut jika diperhatikan sebenarnya muncul atas dasar kekhawatiran yang seringkali dibawa ke tingkat yang lebih ekstrem – mengakibatkan kemunculan diskriminasi.
Sebagai generasi yang telah diberikan ruang berpikir dengan luasnya yang bukan main, alangkah baiknya untuk kita memikirkan bagaimana kekuatan kata-kata dapat berpengaruh terhadap penyebaran diskriminasi ke dalam keseharian kita. Berdamai dengan kebiasaan terdahulu yang mungkin pernah kita dengar orang-orang sebelum kita serta berujar tanpa perlu menjurus ke arah diskriminasi adalah hal yang bisa kita lakukan dewasa ini. Mengacu kepada slogan yang sudah lama dianut oleh bangsa Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika, pentingnya menjaga persatuan dan menjauhkannya dari isu diskriminasi menjadi misi yang kita perlu wujudkan bersama-sama.
Kepergian George Floyd telah menjadi cambuk akan urgensi toleransi yang perlu dirakit kembali, karena pada akhirnya semua insan memiliki hak untuk tinggal di atas dunia yang dibangun atas dasar cinta dan toleransi, bukan kebencian dan diskriminasi.
Tidak ada yang layak diperlakukan secara diskriminatif. Kirim tulisanmu sekarang, karena #YourStoriesMatter dan sekarang adalah #SaatnyaBerhenti.