Berdansa Sepanjang Masa – Pengaruh Subkultur; Disko terhadap Musik Pop Indonesia

Have you ever imagined yourself living in the 80s? KawanWH pasti pernah ‘kan menghayal menikmati lampu dan alunan musik disko? Apalagi di tengah masa PPKM ini. Temponya yang upbeat semacam musik synth-pop memberikan kenikmatan sendiri bagi para pendengarnya untuk berdansa. Namun, sebelum menjadi musik yang populer seperti sekarang ini, Disko merupakan underground music dan subkultur baru yang menjadi ‘sweet escape’ bagi masyarakat di tengah krisis sosial, ekonomi, politik, hingga kemanusiaan sejak tahun 1960-an. Popularitas musik dansa ini mulai memuncak pada tahun 1970-an, seiring dengan meningkatnya popularitas ikon-ikon Disko seperti; Donna Summer, The Village People, Kool & the Gang, the Bee Gees, Earth, Wind & Fire, Rick James, dan masih banyak lagi. Film seperti Saturday Night Fever (1977) yang dibintangi oleh John Travolta juga menjadi salah satu pemicu terbesar terjadinya fenomena disko secara global.

Era 70-an hingga 80-an merupakan era kebebasan, termasuk bagi Indonesia yang memasuki masa Orde Baru di mana menjadi awal masa keterbukaan, khususnya di ibukota yang mulai menyesuaikan dengan tren Disko. Banyak anak muda di Jakarta yang terinspirasi dengan apa yang populer di Barat. Film seperti Saturday Night Fever dan lagu bertajuk “The Hustle karya Van McCoy & The Soul City Symphony menjadi inspirasi utama bagi kalangan muda di Jakarta. Dengan kehadiran Tanamur pada tahun 1970 sebagai pusat diskotek ibukota, masyarakat merasa lebih bebas untuk mengekspresikan diri sebebasnya dan se-extra mungkin. Diterimanya subkultur Disko di kalangan masyarakat juga didasari dengan rasa familiaritas. Musik-musik tradisional Indonesia seperti Jaipongan dan Tortor tanpa disadari memiliki ritme yang cukup serupa dengan ritme musik Disko, oleh karena itu cukup mudah bagi masyarakat untuk meresapi subkultur tersebut.

Despite the influence that has entered the country, jarang sekali diskotek atau klub malam memainkan lagu pop karya Indonesia sendiri, melainkan mereka hanya memainkan lagu-lagu barat yang memang pada saat itu sedang hits. Namun, pada akhir tahun 1970-an, mulai terlihat adanya perubahan yang diawali oleh Gank Pegangsaan, Chrisye, Eros Djarot, Yockie Suryoprayogo, Guruh Soekarno Putra, dan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa banyak musisi muda Indonesia mulai ikut terinspirasi dan terdorong dalam menciptakan musik dansa lokal.

Lagu pop Indonesia seperti “Sakura” karya Fariz RM, “Galih dan Ratna” yang dinyanyikan Chrisye, dan sebagainya masih populer dan tidak terdengar asing di kuping masyarakat hingga masa kini. Baik yang tua, maupun yang muda. Munculnya duo disc jockey seperti Diskoria mendorong terjadinya tren ‘Disco Nostalgia’ di kalangan generasi muda sekarang. Diskoria sendiri menjadikan budaya populer tahun 80an sebagai tema besarnya, dimana mereka memainkan rekaman-rekaman lama musik pop-disco Indonesia ke lantai dansa masa kini, fenomena ini pun menjadi nilai baru. Tak lupa juga peran-peran kolektif lainnya seperti Suara Disko dan Alunan Nusantara yang turut mempopulerkan dan melestarikan ranah kultur pop indonesia dengan menggagas ekosistem untuk berkolaborasi dan merayakannya.

Musik Disko memang identik dengan suasana nostalgia, namun mulai dari kalangan milenial hingga Gen Z masih tertarik untuk ikut meramaikan lantai dansa bahkan merasa familiar dengan suasana ‘jadul’ yang dibentuk. Fenomena ini terjadi karena adanya perasaan relatable yang dirasakan kalangan muda terhadap lirik-lirik lagu pop-disco yang diputarkan. “Cinta Ditolak, Disko Bertindak,” mungkin perasaan itu kembali muncul di kalangan anak-anak muda sekarang.

Ternyata tanpa disadari, musik mampu menyatukan manusia dari berbagai kalangan serta menunjukan keabadiannya seiring berkembangnya zaman. Jadi, apakah kawanWH akan bertindak, jika Indo-pop mulai hilang?