Clubhouse: One-Hit FoMO Wonder?

Siapa sih, yang tidak familiar dengan kopi dalgona, virtual photoshoot, dan aplikasi TikTok? Di tengah pandemi di mana semua orang merasa terputus dari dunia, tren viral internet yang kian datang dan pergi telah menjadi salah satu destinasi utama kebanyakan orang untuk tetap merasa terlibat dan terhubung. Sebagai makhluk sosial, keinginan untuk diikutsertakan memanglah manusiawi. Sehingga, tidak sedikit orang yang mudah merasa tertinggal atau left out dengan hadirnya protokol kesehatan stay-at-home.

Saat ini, perasaan tersebut sering dikenal dengan istilah Fear of Missing Out (FoMO) yang merupakan sebuah keresahan sosial di mana seseorang terus merasa khawatir akan tertinggal hal baru, atau cemas bahwa orang lain sedang menjalani pengalaman hidup yang lebih baik darinya. Perasaan ini muncul dengan gejala-gejala seperti merasa bersalah ketika tidak diajak ikut serta dalam sesuatu, membandingkan diri dengan orang lain secara berlebihan, atau mengecek handphone tanpa henti karena merasa gelisah tertinggal sesuatu. Menurut artikel jurnal Motivational, Emotional, and Behavioral Correlates of Fear of Missing Out (2013), walaupun media sosial bukanlah penyebab dari FoMO, tingginya tingkat FoMO pada era digital masa kini terikat erat dengan maraknya variasi platform media sosial di internet. Maka, media sosial yang menjadi suaka kebanyakan orang di masa pandemi, tentu mendorong manifestasi perasaan cemas ini.

Meskipun FoMO menjadi kelemahan banyak orang di tengah pandemi, tetapi hal ini berbalik menjadi kunci kesuksesan dari tren viral internet yang terbaru, yaitu aplikasi Clubhouse. Platform yang baru meluncur pada Mei 2020 lalu ini bermula dengan hanya 1500 pengguna, akan tetapi, Clubhouse kini telah menjadi salah satu aplikasi paling populer, di mana per Februari 2021, platform tersebut sekarang memiliki sebanyak 6 juta pengguna terdaftar. Turut digemparkan oleh Clubhouse, aplikasi ini juga sempat meraih puncak viralnya di Indonesia selama 5 hari lamanya pada pertengahan Februari lalu. Di samping itu, nilai valuasi dari Clubhouse juga mengalami lonjakan dari 100 juta USD per Mei 2020, menjadi sebesar 1 miliar USD per Januari 2021.

Eksklusivitas yang ditawarkan oleh Clubhouse memang menjadi suatu terobosan baru yang langsung menarik perhatian banyak orang. Namun, fitur Clubhouse lainnya seperti audio-chat dan mendengarkan obrolan sosok influential, bukanlah suatu hal yang unik mengingat medium obrolan suara lainnya seperti podcast, yang pada dasarnya menggunakan konsep yang sama.

Sumber : PCMag.com

Melalui sistem invite-only yang membedakannya dengan aplikasi lain, ditambah dengan tidak dapat diaksesnya hasil obrolan yang sudah berlalu, FoMO menjadi fondasi dasar aplikasi yang hanya tersedia untuk iOS ini. Namun, kehebatan Clubhouse tidak terbatas sampai kecakapannya dalam memanipulasi psikologi manusia sebagai taktik marketing saja. Dalam waktu singkat sejak pertama meluncur, eksklusivitas Clubhouse semakin meningkat dengan kehadiran pembicara-pembicara terkemuka seperti Oprah Winfrey, Mark Zuckerberg, serta Elon Musk yang bahkan mengajak Vladimir Putin untuk berbincang dengannya di platform tersebut. Sebagai wadah yang terkesan insightful bagi para penggunanya, perasaan FoMO akan tertinggal perbincangan yang telah ditunggu-tunggu memikat mereka untuk terus menantikan hal yang terbaru dalam Clubhouse.

Akan tetapi, daya tarik Clubhouse tentu tidak terlepas dari kontroversi. Perasaan FoMO banyak orang untuk menjadi bagian dari tren terbaru ini menyebabkan undangan Clubhouse untuk diperjualbelikan dalam platform seperti Ebay dan Craigslist. Selain itu, tidak direkamnya hasil-hasil diskusi dalam Clubhouse juga tanpa sengaja telah menyediakan berbagai celah untuk penyalahgunaan aplikasi ini. Salah satu perbincangan mengenai “nasihat keuangan” yang mungkin terkesan menarik bagi banyak orang di era kapitalistik ini, ternyata sempat dijadikan platform untuk ajakan skema Multi Level Marketing (MLM). Selain itu, terdapat pula berbagai insiden di mana perbincangan yang dilakukan mengandung misinformasi seperti kampanye anti vaksin, maupun perkataan-perkataan yang mengandung kebencian serta rasisme.

Eksklusivitas Clubhouse juga tidak hanya berhenti pada pengguna iOS saja. Dengan bentuk aplikasinya yang audio-only, Clubhouse telah menerima berbagai kritikan mengenai eksklusinya terhadap para penyandang disabilitas pendengaran. Memang dapat diargumentasikan bahwa kelompok tersebut bukanlah target audiens dari Clubhouse, namun, opsi untuk mengadakan fitur closed captioning tentu selalu dapat dilakukan.

Walaupun eksklusivitas menjadi kunci di balik kesuksesannya, strategi Clubhouse untuk menggunakan FoMO sebagai media pendorong pertumbuhannya telah menjadi loophole yang mendatangkan berbagai kontroversi, terutama dengan gelombang misinformasi yang marak terjadi di dalamnya. Terlebih, dengan kesuksesannya yang bergantung pada FoMO, terdapat kemungkinan bahwa taktik tersebut akan menjadi bumerang terhadap Clubhouse sendiri ketika rasa penasaran dan FoMO akan aplikasi ini berlalu—bahkan puncak dari tren seperti kopi dalgona serta odading di Indonesia pun telah bertahan lebih lama dibandingkan Clubhouse.

Maka dengan dependensinya pada FoMO, hanya terdapat dua opsi untuk keberlanjutan dari Clubhouse, akankah menjadi the next big thing atau akan hanya menjadi sekedar one-hit wonder seperti berbagai tren internet yang datang dan pergi selama pandemi ini.