Pada tanggal 5 Januari 1808, Gubernur-Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels, tiba di Pulau Jawa. Ia menapakkan kakinya di Batavia dengan satu tujuan–untuk membuktikan bahwa dirinya adalah seorang loyalis Prancis sejati. Daendels memulai pekerjaannya di Pulau Jawa sesuai visi Napoleonik yang ada pada dirinya. Berbagai hal dilakukan Daendels untuk membenahi sistem administrasi dan infrastruktur di wilayah Jawa. Pembenahan olehnya terbukti berhasil, sebab Jawa terhindar dari serangan musuh utama Prancis saat itu, yakni Inggris. Lantas, apabila memang benar Daendels berjasa dalam meletakkan dasar-dasar birokrasi efektif di Indonesia, mengapa warisan kekuasaannya tidak secara jelas dikenang?
Jasa Daendels dalam modernisasi dan reorganisasi yang efektif di Pulau Jawa seakan-akan terselubung di balik meninggalnya 12.000 pekerja Anyer-Panarukan. Daendels yang kita kenal saat ini adalah ia yang telah menorehkan bekas manis dan pahit pada negeri yang sempat ia perintah. Pengetahuan akan peninggalan tiga tahun pemerintahan “Raden Mas Galak” tak mungkin terdengar tanpa adanya cerita yang dilontarkan secara turun-temurun. Sosoknya merupakan konstruksi dari potongan-potongan puzzle yang disusun menjadi sebuah gambar utuh. Gambar tersebut kemudian diwartakan melalui biografi yang telah terjadi di masa lalu.
Karena sifatnya yang menimbulkan butterfly effect, sejarah tidak dapat dipahami secara sepenggal, melainkan dengan mendalami setiap rangkaian kejadian yang menuju ke satu titik yang menjadi puncak dari sejarah tersebut. Sifat ‘sebab-akibat’ menandai perubahan baik atau buruk yang dihadapi oleh masyarakat dan dunia saat ini sebagai konsekuensi dari kejadian di masa lalu. Maka dari itu, kisah kelam maupun gembira dalam sejarah merupakan fakta yang tidak dapat ditutup-tutupi.
Akan tetapi, Bumi yang menyimpan triliunan cerita manusia hanya dapat diam ketika lakon utama sejarah memilih untuk mengubur bukti yang terkandung di dalamnya. Hal ini biasanya dilakukan karena kejadian-kejadian tersebut memalukan atau tidak sesuai dengan gambar yang mereka proyeksikan dan ingin tunjukkan kepada dunia. Menurut Thomas Hobbes dalam Leviathan (1651), egoisme yang menjadi sifat dasar manusia merupakan pemicu dari usaha menghapuskan sisi gelap sejarah. Walaupun sejarah dibangun dari serangkaian fakta yang diinterpretasikan melalui kacamata sosial, kekuatan politik, dan pengalaman pribadi, perlu dicatat pula bahwa tidak semua orang dapat menerima kebenaran sebagai sebuah fakta. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sejarah merupakan pedang bermata dua yang dapat menjadi sebuah sumber ilmu atau alat propaganda bagi beberapa pihak yang berkepentingan.
Setahun yang lalu, seorang warganet Twitter yang kerap membahas sejarah kolonialisme di Indonesia—Mazzini (@mazzini_gsp)—mengunggah sebuah tweet bahwa fakta sejarah yang tertulis mengungkapkan Daendels memberikan dana sebesar 30.000 ringgit untuk upah dan konsumsi para pekerja serta mandor Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan. Secara spesifik, setiap pekerja rute antara Bogor dan Cirebon diberikan anggaran uang empat ringgit dan empat gantang garam setiap bulannya. Dana tersebut diberikan kepada Bupati pribumi setempat yang telah dipilih oleh Daendels, dan anggarannya tercatat di dalam arsip sejarah milik Prancis. Nahas, dana tersebut dilaporkan habis ketika proyek pembangunan jalan masih berlangsung, membenarkan adanya tindak korupsi yang dilakukan oleh oknum-oknum yang pada saat itu berkuasa.
Sejarawan berkebangsaan Inggris yang memiliki spesialisasi dalam sejarah modern Jawa, Peter Carey, menanggapi tweet tersebut dengan mengutarakan bahwa manajemen anggaran yang buruk oleh Bupati lokal telah menimbulkan penyelewengan. Ia berargumen bahwa estimasi buruh kasar yang meninggal terlalu fatal seandainya anggaran tersebut diatur dengan baik oleh Bupati lokal. Menurutnya, tidak ada penyiksaan secara fisik dalam kerja rodi, melainkan para pekerja hanya diberikan tenggat waktu yang sedikit untuk menyelesaikan proyek tersebut.
Zaman penjajahan Daendels di tanah Jawa memang bukanlah waktu yang menyenangkan bagi beberapa kalangan untuk hidup. Pemberontakan Raden Ronggo Prawirodirjo III adalah bukti nyata bahwa kemerdekaan sebuah bangsa lebih penting, terlepas dari warisan positif yang diberikan oleh penjajah. Namun, tidak berarti peninggalan ide birokrasi dan sistem pemerintahan Daendels bisa dikesampingkan begitu saja. Sejarah bukan hanya perkara hitam dan putih, bahkan sering kali ia berwarna abu-abu—tidak ada pemenang maupun yang kalah. Maka, sentimen anti-penjajah oleh bangsa Indonesia seharusnya diiringi dengan mengungkapkan sejarah apa adanya. Ilmu Sejarah yang sekarang dipelajari dan ditelaah oleh generasi yang tidak hidup di zaman tersebut seharusnya bukan hanya menjadi ajang untuk menghafalkan isi buku, tetapi menjadi manifestasi pelajaran kehidupan yang akan berguna ke depannya.
Kepentingan mempelajari sejarah tidak terpaku pada titik membaca ulang kejadian masa lampau, melainkan berusaha untuk menyikapinya sebagai sebuah pengalaman yang menghasilkan manusia sekarang. Dengan sejarah, generasi yang ada saat ini dapat dimaknai sebagai sebuah kelanjutan dari peradaban terdahulu yang sedang merajut masa kini—arsip baru bagi Bumi. Arsip tersebut memang akan memasuki lingkaran yang tidak pernah putus. Maka, demokratisasi dalam berpikir haruslah diutamakan ketika berhadapan dengan sejarah, diikuti oleh sikap kritis agar tidak jatuh ke dalam perangkap mosi palsu aktor tertentu. Sikap ini akan membuat penglihatan terhadap kompleksitas sejarah aktual terhindar dari preferensi pribadi yang bersifat merusak.