Bagaimana sebuah olahraga dapat memberikan pengaruh besar terhadap hidup? Hal ini tidak asing menurut penuturan Aknolt Kristian Pakpahan, pengajar Hubungan Internasional di Universitas Katolik Parahyangan. Aknolt atau yang lebih akrab disapa Bang Tian, mengaku sebagai salah satu penonton setia permainan kulit bundar sejak tahun 1986, kala pergelaran Piala Dunia dilangsungkan di Meksiko.
Awalnya, selain karena hobi dan ketertarikannya, sepak bola juga menjadi sebuah kegiatan menyenangkan untuk mendapatkan uang saku tambahan. “Saya sudah bermain sepak bola sejak duduk di bangku sekolah dasar. Saat berkuliah di UNPAR, saya tergabung dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) sepak bola,” ucapnya. Setiap mencetak skor, ia mengaku mendapatkan uang. “Dulu sekali mencetak gol ke gawang lawan dapat Rp50.000,00.”
Pria yang mengaku menyukai klub sepak bola Manchester United ini semakin mengenal sepak bola semenjak bersekolah di luar negeri. Budaya sepak bola ala Eropa ia rasakan ketika sedang menempuh pendidikan di Technische Universitat Dortmund, Jerman. Menurutnya, terdapat banyak persamaan antara budaya sepak bola Jerman dan Indonesia. “Di setiap kota terdapat suporter fanatik yang sering kali melakukan aksi anarkis ketika bertemu suporter lawan. Sebuah tindakan yang tidak asing bagi saya.”
Dari sepak bola, ia juga mendapatkan banyak pelajaran berarti. Salah satunya cara ia mengatur jadwal. “Karena sepak bola, saya mulai memiliki jadwal yang teratur. Dari Senin hingga Jumat, saya fokus pada perkuliahan. Namun, di hari Sabtu dan Minggu, saya tak mau diganggu. Saya hanya ingin bermain bersama teman-teman, terutama ketika ada pertandingan sepak bola.” Tak ayal, sepak bola dapat memberikan dampak positif bagi dirinya sendiri ketika masih menjadi mahasiswa di Jerman.
Tidak hanya itu, sepak bola juga mempertemukannya dengan banyak orang baru yang membawakan pengalamannya tersendiri. Salah satunya adalah ketika Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Kota Dortmund mendapatkan undangan untuk bermain bersama mahasiswa Malaysia. Pada saat itu, sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan antara pemerintah Indonesia dan Malaysia sedang terjadi. Tensi permainan yang awalnya biasa saja langsung menjadi lebih sengit. “Sepak bola juga dapat disusupi elemen politik walaupun tidak secara langsung dirasakan,” kata Bang Tian. Namun, hal yang menarik, ia mengatakan bahwa PPI tidak pernah sekalipun menelan kekalahan saat melawan mahasiswa Malaysia.
Walaupun merasakan atmosfer yang berbeda, sepak bola Indonesia juga memiliki banyak nilai dan kultur tersendiri yang tidak didapatkan selama berkuliah di Jerman. Menurutnya, unsur kedaerahan di Indonesia sudah sangat mengakar sehingga menyebabkan setiap pertandingan sepak bola antar daerah sangat menarik untuk ditonton. “Di Indonesia saya merupakan suporter PSMS Medan, karena klub bola itu berasal dari daerah asal saya,” ucapnya. Seperti yang dialaminya ketika berada di Jerman, fanatisme suporter juga mewarnai sepak bola Indonesia.
Nilai dan kultur itu yang membuatnya memiliki rasa kerinduan terhadap tanah air. Sepak bola, menurutnya dapat mempersatukan segala golongan, terlepas dari nasionalisme. “Ketika bermain sepak bola, saya merasakan nilai-nilai berbeda tentang persatuan satu tim. Kita tidak bisa memilih tim berdasarkan latar belakang seperti suku atau agama, namun oleh persamaan karena minat yang besar pada sepak bola,” ucap pria yang mengaku mendukung tim nasional Brazil di Piala Dunia 2022 ini.
Mengenai politisasi di sepak bola, ia memiliki pandangan yang menarik. Menurutnya, sepak bola ketika dilepaskan dari konteks politik hanya sekadar permainan yang menyatukan orang-orang. Namun, ia merasa hal itu sulit untuk terjadi. “Piala Dunia di Qatar yang sedang dihelat juga sarat akan politik. Seharusnya semua itu merupakan ajang untuk menyatukan berbagai elemen masyarakat. Ketika sepak bola disusupi isu-isu politik seperti di Qatar, mengapa untuk sesaat kita tidak bisa menghargai tuan rumah selaku penyelenggaranya?” tuturnya.
Cara Bang Tian melihat fanatisme dan falsafah sepak bola dapat dijelaskan melalui kata penutupnya untuk sesi perbincangan ini. “Polarisasi dan unsur politik pada olahraga, termasuk sepak bola seharusnya dipisahkan. Sulitnya, ada sebagian orang yang masih mencampurkan hal-hal tersebut. Menurut saya tujuan olahraga hanya dua, kesehatan dan prestasi.” Untuk mencapai itu semua, menurutnya olahraga harus dilihat sebagai ranah yang positif. “Fanatisme salah satunya. Hal itu sah-sah saja dilakukan, tetapi sportivitas harus diutamakan dan didukung oleh semua pihak.”