Perselisihan antara ketua Komunitas Adat Laman Kinipan di Kalimantan Tengah, Effendi Buhing dengan PT Sawit Mandiri Lestari (SML) kembali memanas setelah video penangkapan paksa Effendi menjadi viral di media sosial. Effendi dibawa paksa oleh belasan aparat Polda Kalimantan Tengah yang dibantu Polres Lamandau pada Rabu (26/8) di kediamannya. Effendi ditangkap atas tuduhan melakukan sejumlah gangguan dan intimidasi pada pekerja PT SML sejak tahun 2018. Selain Effendi, Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) menyebut ada lima warga adat lain yang dikriminalisasi: Riswan, Yefli Desem, Yusa, Muhammad Ridwan dan Embang. Namun, penahanan terhadap Effendi dan warga adat yang menjadi tersangka lainnya ditangguhkan usai diperiksa atas laporan aksi kriminal oleh PT SML tersebut.
Menurut Kepala Hubungan Masyarakat PT SML, Wendy Soewarno, kasus perselisihan pertama kali terjadi pada Oktober 2018 ketika Effendi meminta uang sebanyak Rp 5 miliar dan menuntut garapan lahan hutan adat oleh PT SML. Perusahaan sawit tersebut menyatakan bahwa dalam perizinan penggarapan tanah, tidak terdapat hutan adat seperti yang diklaim Effendi. Selanjutnya, pada Desember 2019, Wendy menyebut Effendi sebagai dalang di balik perampasan alat gergaji mesin dan kendaraan milik pekerja PT SML. Tudingan akan provokasi, pemberian ancaman dengan meletakkan senjata di atas leher pekerja PT SML, pembakaran pos pantau milik PT SML, hingga perampasan gergaji mesin yang kembali terjadi pada Juni 2020 pun semakin menyudutkan nama Effendi yang dituding sebagai otak di balik kejadian-kejadian tersebut.
Di sisi lain, Effendi dan masyarakat adat setempat telah mengalami penggusuran pemukiman dan tanah pertanian untuk dibuat perkebunan sawit sejak 2018. PT SML mengungkapkan bahwa penggusuran dan penggarapan hutan adalah sah dengan izin pelepasan lahan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Maret 2015. PT SML juga mengantongi izin berdasarkan Keputusan Menteri ATR/BPN No. 82/HGU/Kem-ATR/BPN/2017 tentang Pemberian Hak Guna Usaha (HGU) atas nama PT SML. Namun, pemberian izin tersebut diduga cacat hukum karena tidak melibatkan masyarakat adat Laman Kinipan dalam proses persetujuannya.
Komite Nasional Pembaruan Agraria menilai penangkapan paksa oleh aparat polisi terhadap Effendi adalah bentuk kriminalisasi pada pejuang lingkungan yang memperjuangkan hutan adat dari pengusaha sawit. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah, Dimas N. Hartono, menganggap apa yang dilakukan Effendi bersama masyarakat adat lainnya adalah bentuk perlindungan terhadap hutan adat. “Riswan dan Effendi saat itu mau menghentikan penebangan hutan, melindungi hutan. Mereka mengambil dan menahan chainsaw (pemotong pohon), tidak benar dirampas, apalagi dicuri. Kalau dicuri seharusnya diam-diam,” ujar Dimas. Menurut Dimas, Effendi dan kelima warga adat Kinipan yang ditahan menolak penggarapan perkebunan sawit di hutan adat karena banyaknya kekayaan alam yang menjadi penopang hidup mereka.
Effendi dan masyarakat adat Kinipan sedang bersama-sama memperjuangkan hak mereka atas tanahnya yang kini semakin sulit untuk diperjuangkan. Pasalnya, suara dari masyarakat adat yang jarang didengar membuat kejadian serupa pun banyak dialami oleh berbagai masyarakat adat di Indonesia. Berdasarkan keterangan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), telah terjadi 28 konflik agraria yang melibatkan masyarakat adat dan pengusaha di Indonesia hanya dari Mei hingga awal Juli 2020.
Guna melindungi hak-hak masyarakat dan wilayah adat, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Simolinggi mendesak pemerintah untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang masyarakat adat. Rukka khawatir munculnya Omnibus Law akan mempersulit masyarakat adat dalam mempertahankan wilayahnya. Direktur Nasional Walhi, Nur Hidayati, menganggap negara memberikan izin legal bagi perusahaan untuk beroperasi, sementara hak masyarakat adat akan wilayahnya tidak diakui negara. Padahal, merekalah yang menetap dan hidup untuk menjaga kekayaan alam di wilayahnya. “Masyarakat selalu di posisi dirugikan, dituduh mencuri, menghalang-halangi, padahal mereka telah dirampok habis-habisan, dibiarkan menderita, bahkan dipenjara. Dan perampokan ini dilegalkan oleh pemerintah sehingga pengusaha bisa berbuat semaunya di wilayah adat,” tambahnya.