Dianggap Tidak Berguna, Junta Militer Mali Usir Tentara Prancis

Pasukan Prancis dalam Operasi Barkhane melawan militan di Sahel, Mali
Sumber : GettyImages.

Pada Kamis (17/2), Presiden Prancis, Emmanuel Macron, secara resmi menarik pasukan Prancis dari Mali dan sekitarnya. Dilansir dari Al Jazeera, Prancis menyatakan bahwa telah terjadi ‘beberapa hambatan’ dari pemerintah junta militer Mali yang membuat kondisi menjadi tidak kondusif bagi tentara Prancis untuk melanjutkan operasinya. Dalam konferensi bersama Uni Eropa dan petinggi Uni Afrika, Macron menyatakan kekecewaannya akan sikap junta militer Mali. “Perang melawan teror tidak akan dapat dimenangkan apabila tidak didukung oleh negara itu sendiri,” ujar Macron pada Jumat (18/2) kepada Associated Press.

Perginya Prancis dari Mali juga disebabkan oleh kudeta yang dilakukan oleh militer Mali di bawah pimpinan Kolonel Assimi Goita. Kolonel Goita sebelumnya telah berhasil menggulingkan mantan Presiden Ibrahim Boubacar Keïta pada tahun 2020. Akibat konflik berkepanjangan yang terjadi dengan tentara Prancis, pimpinan junta militer Mali memutuskan untuk mengusir tentara Prancis ‘tanpa penundaan’ pada Jumat (18/2). Bersamaan dengan itu, pasukan gabungan Uni Eropa, Takuba, juga akan meninggalkan Mali.

Dilansir dari Al Jazeera, pengusiran ini disebabkan oleh semakin meningkatnya ketidakpuasan rakyat akan keberadaan tentara Prancis dan Uni Eropa yang dinilai tidak memberikan dampak apapun terhadap masalah-masalah di Mali. “Apa yang mereka berikan kepada kita?” ujar Kolonel Mayor Souleymane Dembélé kepada Associated Press pada Jumat (18/2). Menanggapi pengusiran tersebut, Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Yves Le Drian, membuka suara. Dilansir dari Reuters, Le Drian mengatakan bahwa kapasitas Mali untuk memerangi kelompok jihad sepenuhnya akan menjadi tanggung jawab Mali karena tentara Prancis akan membantu tentara nasional negara-negara lain.

Kepergian Prancis dari Mali mengakhiri Operasi Barkhane yang berjalan hampir 10 tahun di negara tersebut. Operasi ini dimulai pada tahun 2013 akibat meningkatnya konflik yang terjadi di Mali dan sekitarnya. Pada saat itu, Mali sedang menjadi pusat konflik Sahel yang disebabkan oleh kelompok-kelompok jihad seperti Al-Qaeda dan ISIL. Oleh karena itu, Prancis memutuskan untuk menjalankan operasi tersebut sebagai upaya melawan terorisme.

Sayangnya, kepergian Prancis justru menimbulkan konflik baru. Sebanyak 8 tentara Mali telah dibunuh dan 5 lainnya hilang dalam konflik dengan kelompok pemberontak berbasis agama di wilayah timur laut Archam pada Senin (21/2). Dilansir dari AFP, konflik bersenjata antar kelompok jihad ini juga telah menewaskan sekitar 40 warga sipil dalam minggu lalu. Meskipun demikian, Menteri Pertahanan Mali, Sadio Camara, mengatakan pada Al Jazeera bahwa angkatan udara Mali telah berhasil melakukan serangan balik kepada para militan tersebut di wilayah dekat Burkina Faso.

Tanggapan Masyarakat Internasional

Keputusan junta militer Mali untuk mengusir tentara Prancis diikuti dengan kekhawatiran dari berbagai pihak. Dilansir dari Associated Press, banyak pengamat internasional dan politisi Mali yang khawatir akan keamanan negara tersebut. Wakil Menteri Luar Negeri Jerman, Katja Keul, juga ikut menyuarakan kekhawatirannya terkait masalah ini. Dilansir dari Al Jazeera, Keul merasa bahwa keputusan Prancis untuk menarik pasukannya akan membawa pandangan buruk dari masyarakat Afrika dan akan berdampak pada keterlibatan internasional Jerman di kawasan tersebut.

Di samping itu, kepergian tentara Prancis juga membawa kekhawatiran kepada negara-negara tetangga Mali. Presiden Niger, Mohamed Bazoum, mengatakan pada BBC bahwa perbatasan antara Mali dan Niger akan menjadi tempat yang semakin rawan terhadap militan jihad setelah tidak adanya campur tangan dari tentara Prancis. Ketua kelompok masyarakat Save Burkina Faso, Mamadou Drabo, dalam wawancaranya bersama Associated Press menyatakan, “Dampak terhadap keamanan di Burkina Faso akan sangat berat karena Mali tidak dapat mengamankan bagian utara dan tengah dari negaranya sendiri. Apabila tentara-tentara dari Eropa meninggalkan Mali, maka daerah itu akan menjadi tempat bagi kelompok teroris. Hal ini akan sangat sulit bagi Burkina Faso. Semoga Mali dapat menemukan strategi lain untuk mengamankan daerah tersebut dengan cepat setelah kepergian tentara Eropa.”

Sementara itu, Kolonel Mayor Souleymane Dembélé membantah kekhawatiran-kekhawatiran tersebut. “Memang benar, (kepergian tentara Prancis membawa kekhawatiran) tetapi Mali tidak sendirian dan tidak pernah sendirian. Prancis dan negara-negara Eropa lainnya boleh pergi. Saya tidak ingin mengantisipasi. Beri waktu dan lihat apa yang akan terjadi,” ujarnya dalam konferensi pers pada Jumat (18/2).

Dilansir dari Al Jazeera, junta militer Mali telah memutuskan untuk bekerja sama dengan tentara bayaran dari Rusia bernama Wagner Group setelah kepergian tentara Prancis dan Uni Eropa. Hal ini memicu kecaman keras dari negara-negara Uni Eropa, termasuk Prancis. Dilansir dari BBC, kecaman ini disebabkan oleh fakta bahwa Wagner Group telah terbukti melakukan banyak pelanggaran HAM dan kejahatan perang di Afrika. “(Wagner Group) dapat memperburuk kondisi yang sudah ada di Afrika Barat,” ujar Prancis dan 14 anggota Uni Eropa lainnya dalam pernyataan gabungan pada bulan Desember lalu. Meskipun demikian, seorang pejabat Amerika Serikat mengatakan pada Associated Press bahwa sudah ada 800 orang tentara bayaran di Mali dan akan terus bertambah seiring dengan berkurangnya pasukan dari Prancis dan Uni Eropa. (IS)