Konflik di Afghanistan semakin memanas selama beberapa minggu terakhir ini. Sejak awal Agustus 2021, Taliban mulai membangun kembali kekuasaannya di Afghanistan dengan mengambil alih kota-kota besar, seperti Kota Kunduz, Sar-e-Pul, Taloqan, Kandahar, Mazar-i-Sharif, dan Jalalabad. Invasi Taliban mencapai puncaknya saat Taliban berhasil masuk dan mengambil alih ibukota Afghanistan, Kota Kabul, pada Minggu (15/8).
Keberhasilan Taliban menimbulkan pertanyaan bagaimana kelompok ini bisa mengambil kendali hanya dalam hitungan beberapa hari. Padahal selama hampir dua dekade, Amerika Serikat berusaha melemahkan pengaruh Taliban di Afghanistan. Berikut ini adalah fakta seputar Taliban dan konflik Afghanistan yang perlu KawanWH tahu:
Siapa itu Taliban?
Taliban adalah kelompok militer yang dibentuk oleh para mantan pejuang Afghanistan (Mujahidin) pada tahun 1994. Mereka memiliki visi untuk menjadikan Afghanistan sebagai negara Islam dan menghapuskan segala pengaruh asing di negara tersebut. Sebelumnya, Taliban pernah menduduki kursi pemerintahan Afghanistan pada tahun 1996 dan menerapkan hukum Islam secara ketat. Hal ini berubah saat AS melakukan invasi ke Afghanistan dan menggulingkan pemerintahan Taliban pasca peristiwa 9/11.
Bagaimana kondisi Afghanistan pasca pengalihan kekuasaan?
Dalam beberapa jam setelah Taliban kembali berkuasa, kekacauan terjadi di Bandara Internasional Kabul akibat masyarakat Afghanistan yang berusaha untuk melarikan diri dari negara tersebut. Sebuah video yang diunggah oleh akun Youtube Al Jazeera menunjukkan masyarakat Afghanistan lari ke sisi militer bandara dan berusaha untuk naik secara paksa ke pesawat milik Angkatan Udara AS. Dalam video yang sama, beberapa orang terlihat jatuh dari ketinggian hingga tewas saat pesawat lepas landas.
Kenapa Taliban dapat kembali berkuasa dengan cepat?
Selain penarikan pasukan AS dari Afghanistan yang telah membuka peluang bagi Taliban untuk mengambil alih dan mengalahkan pasukan Afghanistan, terdapat beberapa alasan lainnya yang menyebabkan jatuhnya kota-kota besar Afghanistan ke tangan Taliban hanya dalam hitungan hari. Dilansir dari CNN, Carter Malkasian, mantan penasihat senior militer AS untuk Afghanistan, mengatakan bahwa keberhasilan Taliban disebabkan oleh kurangnya koordinasi dan buruknya moral pasukan Afghanistan. Malkasian mengatakan bahwa semakin banyak kekalahan yang dialami, semakin buruk moral pasukan Afghanistan sehingga mereka lebih mudah menyerah di hadapan Taliban.
Ditambah lagi, kabar kepergian Presiden Afghanistan, Ashraf Ghani, ke luar negeri dengan alasan untuk menghindari pertumpahan darah juga mengakibatkan kekosongan kekuasaan dan memberi kesempatan bagi Taliban untuk mengambil alih pemerintahan. Dilaporkan oleh CNN pada Rabu (18/8), Menteri Luar Negeri Uni Emirat Arab mengkonfirmasi bahwa Ghani saat ini berada di Uni Emirat Arab.
Bagaimana tanggapan Amerika Serikat?
Kembali berkuasanya Taliban di Afghanistan sudah diprediksi sebelumnya oleh AS. Dilansir dari Reuters, AS percaya bahwa Taliban akan mengambil alih Afghanistan dalam kurun waktu 90 hari. Pada kenyataannya, Taliban berhasil melakukan hal tersebut hanya dalam waktu dua minggu. Walaupun perhitungan yang disampaikan oleh pemerintahan Biden keliru, Biden tidak menyesal dan tetap teguh dengan keputusannya untuk menarik kembali pasukan AS.
“Saya tetap teguh dengan keputusan saya. Setelah 20 tahun, saya telah belajar melalui cara yang sulit bahwa tidak ada waktu yang tepat untuk menarik pasukan AS. Itulah sebabnya kita masih ada di sana,” tegas Biden dalam konferensi pers di Gedung Putih, Senin (16/8).
Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Melalui konferensi pers pertamanya pada Selasa (17/8), juru bicara Taliban, Zabihullah Mujahid, mengatakan bahwa Taliban ingin menciptakan pemerintahan yang sehat dan inklusif serta memiliki hubungan baik dengan negara-negara lain. Mujahid juga mengatakan bahwa Taliban berjanji akan menghormati hak perempuan, memaafkan pihak oposisi, dan menjamin keamanan Afghanistan.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, mengajak masyarakat internasional untuk bersatu menghadapi krisis di Afghanistan melalui akun twitter resminya. Hal ini ia lakukan agar pelanggaran hak asasi manusia tidak semakin buruk dan Afghanistan tidak menjadi sarang kelompok teroris. (ZN)