Dua Sejoli, Dua Tuhan: Balada Pasangan Beda Agama

Apa yang terlintas pertama kali di pikiran KawanWH ketika membahas soal pernikahan? Mungkin beberapa di antara KawanWH akan teringat prasmanan yang menyediakan berbagai makanan utama hingga pembuka. Beberapa mungkin malah berpikir mengenai dekorasi dan riasan pengantin. Pernikahan jauh lebih rumit dari yang dibayangkan karena melibatkan upacara simbolis untuk menyatukan dua belah pihak yang didasari oleh cinta dan kasih sayang.

Upaya untuk mengucapkan janji bersama sehidup semati pun tidak semudah yang terdengar, terdapat beberapa persyaratan seperti persetujuan kedua orang tua hingga pemilihan acara adat. Aspek lain seperti Suku, Ras dan Agama dijadikan sebagai tolak ukur dan prasyarat untuk menentukan pasangan. Hal ini tak lepas dari sifat alami manusia yang memang pada dasarnya mengelompokan diri sesuai dengan sesama golongannya. Seringkali, terjadi polemik di kalangan masyarakat ketika perbedaan latar belakang menjadi masalah serius yang melanggar norma dan budaya.

Tak lupa juga, pernikahan model ini juga rentan untuk dijadikan bahan perbincangan lingkungan sekitar. Apalagi ketika lingkungan tersebut sangat homogen yang belum bisa menerima keanekaragaman. Persiapan mental dan jasmani diperlukan untuk bisa menerima segala pembicaraan, terutama yang negatif pada kedua pasangan.

Hal itu sendiri dapat mempengaruhi ke masalah psikologis, bahkan yang paling parahnya berpeluang pada perceraian. Perbedaan dalam mempercayai Tuhan menjadi alasan mengapa pasangan yang melakukan pernikahan cenderung lebih mudah berdebat akan kepercayaan masing-masing. Hal ini lalu membuat potensi keretakan pada bahtera rumah tangga akan semakin besar terjadi.

Salah satu kisah klasik (dan yang lumrah terjadi) mungkin bisa dilihat dari pasangan beragama Kristen dan Islam. Meski keduanya masuk ke dalam kategori Agama Samawi, bukan berarti pernikahan antara dua kepercayaan ini dapat dilegalkan. Setidaknya itu yang lumrah terjadi dalam masyarakat hingga sekarang.

Ambil contoh kisah Nekisha Michelle Kee, pemilik perusahaan Ultimate Match Agency yang merupakan seorang wanita beragama Kristen memiliki pasangan beragama Muslim. Usia pernikahan yang telah menginjak tahun kelimanya masih bertahan walaupun perbedaan paling kentara dalam beragama tak bisa dihindari. Ketika ditanya bagaimana cara keduanya dapat saling mengerti satu sama lain, Kee mengatakan bahwa cara yang paling mudah yakni dengan melupakan perbedaan, merayakan kesenangan. Ketika keduanya sudah merasa nyaman, maka obrolan seputar perbedaan dapat diperbincangkan secara santai dengan pikiran terbuka.

Lalu, bagaimana dengan di Indonesia? Dengan populasi multikultural yang serupa dengan Amerika Serikat, masyarakat di negara ini belum sepenuhnya menerima pernikahan berbeda agama. Begitu pula hukum pernikahan beda agama yang berlaku di Indonesia yang berada di zona abu-abu. Hal ini dapat dilihat dalam UU No.1 Tahun 1974 yang hingga kini masih menjadi pemicu perdebatan.

Secara konstitusional, Indonesia tidak melarang pernikahan beda agama, namun juga tidak ada hukum yang mengaturnya secara khusus. Bahkan secara hukum agama tertentu, terdapat celah yang bisa membantu memvalidasi hal tersebut. Tetapi apakah hal ini bisa membuat pernikahan berbeda agama diterima di masyarakat?

Faktanya, kondisi di lapangan berbicara berbeda. Sudah banyak cerita tentang kisah asmara yang berakhir tanpa janji suci. Sejumlah suku bahkan dengan tegas menolak adanya dua kepercayaan pada sebuah rumah tangga. Inilah alasan mengapa pasangan berbeda keyakinan di Indonesia belum bisa diterima sepenuhnya, baik itu oleh masyarakat maupun keluarga masing-masing.

Menariknya, di era yang semakin progresif ini sudah banyak generasi muda yang mulai meninggalkan adat lama. Ketika dihadapi pada keragaman, bukan hal yang aneh bagi mereka untuk melihat pasangan beretnis Sunda dan Maluku misalnya, hingga berbeda warna kulit. Namun untuk perbedaan agama, mayoritas masih memilih untuk tidak membawanya hingga ke jenjang pernikahan. Apakah budaya seperti ini akan tetap eksis? Apakah pada akhirnya generasi selanjutnya akan lebih terbuka dalam memilih pasangannya?

KawanWH, perbedaan seringkali menjadi penghalang untuk menikmati kasih sayang dengan pasangan. Daripada menyiksa diri sendiri, bukankah melegakan apabila keputusan yang diambil merupakan kesepakatan bersama karena tahu mana yang terbaik untuk kedua belah pihak?