Bukan rahasia lagi bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya. Berbagai puji ditorehkan atas ribuan suku, hingga ratusan bahasa daerah membentang dari Sabang hingga Merauke. Budaya diwariskan secara turun temurun, berusaha dirawat dan dijaga selayaknya suatu yang sakral. Atas ragamnya yang eksotis nan indah, negeri ini layak disebut sebagai zamrud di Khatulistiwa. Besar kebanggaan yang semestinya dipegang teguh oleh anak bangsa.
Ibarat sebuah pohon, berbagai kebudayaan daerah di Indonesia menjadi akar kebudayaan nasional. Lama-kelamaan, mereka akan tumbuh menjadi batang yang kokoh dan berusaha mempertahankan keutuhan sebuah bangsa. Dengan begitu, mereka berharap dedaunan akan bersemi ditemani oleh buah-buahan yang manis. Sayangnya, perjuangan tidak pernah semudah dan seindah imaji, benar?
Banyak yang berpendapat, beberapa daun mulai melupakan akarnya. Ironis, sama sekali tidak manis. Permasalahan inilah yang tengah dihadapi oleh Indonesia. Anak muda, yang mulanya diharapkan dapat diwariskan kebudayaan daerah, mulai berpaling dari akarnya. Tidak mesti dalam bentuk barang ataupun atraksi. Warisan dapat berbentuk hal yang paling dekat dengan kehidupan sehari-hari— bahasa.
Hal ini dialami oleh Maria Risya, seorang mahasiswi Hubungan Internasional yang terlahir dari keluarga bersuku Jawa. Gadis yang akrab disapa Risya ini memang lahir dan besar di Kota Bekasi, jauh dari kampung halamannya di Solo. “Sejujurnya, aku suka banget dengan budaya Jawa. Tapi sayang, bahasanya aja pun aku nggak paham,” ujarnya muram. Risya menyadari bahwa terdapat kebanggaan tersendiri ketika memaknai kebudayaan daerah asalnya. Dari hatinya, ia sangat ingin mempelajari bahasa Jawa mulai dari tingkatan terendah hingga tertinggi. Bahkan, ia memiliki keinginan untuk mempelajari aksara Jawa.
Sedari kecil, Risya memang tidak dibiasakan untuk berkomunikasi dalam bahasa daerah. Rasa gengsi pun menjadi hal yang menghambat dirinya untuk mempelajari bahasa Jawa dari kedua orangtuanya. “Kalau ada yang bertanya aku asal mana, aku akan jawab Bekasi. Karena aku besar dan tinggal di Bekasi, aku pun lebih memahami Bekasi daripada Solo,” ujarnya. Ia pun menyayangkan apabila suatu ketika ia sudah berkeluarga, ia tidak dapat mewariskan kebudayaan Jawa kepada anak-anaknya kelak.
Menurut Risya, ia bukan satu-satunya anak muda yang menghadapi permasalahan ini. Banyak dari temannya yang mulai menjauh dari akar kebudayaan daerah masing-masing. Berbeda dengan kisah Risya, dapat dikatakan bahwa Samuel Adolfo, merupakan anak muda yang beruntung. Mahasiswa Unpar asal Kupang ini mengakui dirinya masih amat lekat dengan kebudayaan daerah asalnya. Samuel mengatakan bahwa memang tidak dapat dipungkiri seiring dengan perkembangan zaman, warisan budaya terancam menghilang. “Mungkin ada beberapa anak muda yang nggak bisa bahasa daerah karena nggak lahir di daerah, atau nggak diajarkan oleh orangtuanya. Mungkin juga, ada yang hanya bisa bahasa daerah sehari-hari yang sederhana,” ujarnya.
Samuel terlahir dan besar di Kupang, daerah yang menjunjung tinggi kebudayaan. Ia terbiasa menggunakan bahasa daerah di lingkungannya, berbeda dengan Risya yang terbiasa menggunakan bahasa Indonesia. “Kupang dikenal dengan istilah FLOBAMORA, yaitu Flores, Sumba, Timor, dan Alor. Itu sebutan untuk suku-suku dengan mayoritas terbesar di NTT,” tambahnya. Dengan begitu banyak ragam suku dan budaya di Kupang, Samuel mengaku bahwa toleransi berbudaya di Kupang begitu tinggi. Bahkan, Kupang dijuluki sebagai “Kupang Kota Kasih”.
Ketika pertama kali Samuel harus merantau ke Bandung untuk berkuliah pada tahun 2019, ia merasakan culture shock atas perbedaan budaya yang ada di Bandung dan di Kupang. Menurut Samuel, orang-orang yang ia temui ketika berkuliah di Bandung cenderung individualistis. Hal ini cukup berbeda dengan lingkungan tempat ia tumbuh di Kupang. Ia pun hanya menjumpai satu orang mahasiswa di angkatannya yang tumbuh besar di Kupang. Seringkali mereka bercakap dalam bahasa Kupang, walau Samuel sadar bahwa ia harus beradaptasi ketika merantau. Ia semakin belajar untuk menghargai perbedaan selama di Bandung. “Budaya Indonesia itu beragam dan unik, itulah aset keindahan Indonesia menurutku,” ujar Samuel.
Berdasarkan pengalaman yang dialami Risya dan Samuel, dapat dilihat bahwa sesungguhnya anak muda masih memiliki hasrat untuk memaknai kebudayaan daerahnya masing-masing seperti bahasa. Risya, walaupun tinggal jauh dari akar kebudayaan, namun rasa bangga terhadap daerah asalnya masih tetap kental. Samuel beruntung dapat tumbuh besar di lingkungan yang begitu lekat dan dekat dengan akar kebudayaan. Namun, bukan berarti mereka yang jauh dari akar telah melupakan jati diri kebudayaan daerahnya. Bisa ataupun tidak bisanya seseorang untuk berbahasa daerah bukanlah satu-satunya taraf untuk mengukur kecintaannya pada budaya sendiri.
KawanWH, ada banyak cara untuk menunjukkan kebanggaanmu terhadap budaya Indonesia. Tidak ada satu cara yang paling tepat untuk selebrasi rasa cintamu terhadap Ibu Pertiwi, sebab yang terpenting adalah dari dalam hatimu sendiri.