Jika bertemu dengan anak muda jaman sekarang, KawanWH mungkin mengenali bagaimana kebanyakan dari mereka memilih pakaian yang selalu up-to-date, merekomendasikan musik dengan genre yang bervariasi, hingga menyerukan opini tentang politik dan keadilan sosial dengan lantangl. Tidak heran Gen Z seringkali dicap “terlalu liberal” oleh generasi sebelumnya. Apalagi mengenai isu identitas gender dan orientasi seksual yang sedang hangat diperbincangkan saat ini. Sebagai contoh, penggunaan pronouns pada bio media sosial. Pernahkah KawanWH melihat penggunaan pronouns seperti she/her, he/him, they/them dan lainnya di media sosial belakangan ini? Apakah KawanWH kemudian bertanya-tanya mengapa mereka menggunakannya?
Pronouns atau pronomina digunakan untuk mengidentifikasikan identitas dan ekspresi gender seseorang sesuai dengan pilihan mereka. Identitas gender adalah bagaimana seseorang menginterpretasi dirinya berdasarkan bawaan lahirnya. Sedangkan, ekspresi gender merupakan bagaimana seseorang mendemonstrasikan identitas tersebut melalui perilaku, gaya berpakaian, dan lainnya. Penggunaan pronomina berarti menghormati identitas serta ekspresi gender seseorang sekaligus melawan stigma dan batasan gender yang bersifat biner atau tradisional.
Gen Z lalu dianggap menjadi generasi yang paling terbuka mengenai isu ini dibandingkan dengan generasi lainnya. Dalam sebuah survei, 50% dari Gen Z menganggap peran gender yang tradisional dan label gender yang biner justru sudah kadaluarsa. Tidak kalah menarik, ternyata 6% lebih banyak milenial yang menyetujui hal tersebut. Perbandingan kedua generasi muda dengan generasi atasnya ini memperlihatkan sebagaimana mereka dapat mengkritisi dan mempengaruhi persepsi masyarakat pada umumnya.
Menurut laporan Ipsos MORI pada tahun 2017, 66% dari 1.003 responden berusia 16 hingga 22 tahun menjawab bahwa mereka secara eksklusif berorientasi heteroseksual. Jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya, 77% millennial, 85% gen X dan 88% Baby Boomers di Britania Raya menjawab hal yang sama. Sedangkan, survei Gallup pada tahun 2020, 15.9% dari 15.349 orang responden gen Z di Amerika Serikat yang dipilih secara acak mengaku berorientasi seksual queer atau transgender. Dibandingkan dengan generasi diatasnya, 9.1% milenial mengakui hal yang sama dan 8.1% memilih untuk tidak menjawab. Kedua studi ini menunjukkan signifikansi keterbukaan Gen Z terhadap komunitas LGBTQIA+. Ketabuan akan SOGIESC (Sexual Orientation, Gender Identity, Expression, and Sexual Characteristic) telah berkurang jauh dibanding pada masa lalu. Sehingga, wajar bagi mereka untuk merasa lebih aman untuk come out atau terus terang dengan identitas dirinya.
Walau demikian, tidak semua dari generasi ini menyetujui hal yang sama. Realitanya, masih banyak pula yang homofobik, transfobik, anti-LGBTQIA+, dan secara umum bebal mengenai isu SOGIESC di generasi kita. Ada orang yang sadar bahwa toleransi dan kesetaraan tanpa diskriminasi bersifat inheren. Namun, tidak semua orang diajarkan toleransi yang sama, dengan keterbukaan yang luas tanpa stigma.
Tidak dapat dipungkiri bahwa representasi LGBTQIA+ dalam media modern jauh lebih eksis dibandingkan dengan masa lalu. Mulai dari bentuk-bentuk ekspresi dan identitas gender serta fluiditas orientasi seksual, eksplorasi dan pengalaman karakter yang relevan menjadi bagian dari realita media. Hal ini tentu membantu mendorong keterbukaan generasi muda terhadap isu-isu serupa.
Keterbukaan Gen Z terhadap pergeseran pemahaman aspek-aspek sosial dasar seperti identitas gender dan seksualitas yang menyimpang dari normativitas heteroseksual memang patut dipuji. Apakah sikap ini dapat menjadi batu loncatan bagi generasi-generasi berikutnya untuk hidup di dunia yang dapat memberikan kenyamanan dan keamanan untuk berekspresi tanpa batas? Pada akhirnya, perubahan ada di tangan kita dan pilihan untuk menjadi lebih baik dapat mengubah segalanya. Siapkah KawanWH menjadi bagian dari perubahan?