“Olimpiade merupakan permulaan hidup yang hebat bagi setiap atlet, bukan hanya sekedar tradisi semata saja, tetapi untuk tetap terus berjuang menjadi yang terhebat. (Dan) percayalah, kami sebagai atlet telah melatih diri dengan berbagai upaya dalam apapun jenis olahraganya.” Ucapan dari Krystsina Tsimanouskaya (24) dalam akun Instagram @kristi_timanovskaya.
TOKYO – (3/8), Atlet lari putri Olimpiade Tokyo 2020 asal negara Belarus Krystsina Tsimanouskaya menjadi sorotan media setelah mengalami insiden di Bandara Haneda di mana ia berlari meminta perlindungan suaka kepada polisi setempat. Terdapat beberapa negara yang merespons permintaan ini seperti Polandia, Republik Ceko, dan Slovenia yang menyatakan siap memberi suaka. Pada akhirnya di Selasa (3/8) pagi, Tsimanouskaya akhirnya dibantu Kepolisian Jepang untuk sampai ke Kedutaan Besar Polandia yang telah memberikannya suaka melalui visa kemanusiaan.
Tsimanouskaya menyatakan bahwa ia melakukan hal tersebut karena khawatir dengan keselamatan dirinya setelah menolak pemulangan paksa ke negaranya sebelum bertanding di lomba lari 200 meter pada Senin (2/8). Ia mengaku dipaksa pulang oleh pejabat tinggi Belarus setelah mengkritik kebijakan pelatihnya secara publik yang tiba-tiba menempatkannya di dalam lomba lari estafet 4 x 400 meter, jenis lomba yang belum pernah ia ikuti. Akibat dari perpindahan tersebut Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS) melarang Tsimanouskaya untuk bertanding di lari 200 meter. Dilansir dari AP, Tsimanouskaya meminta CAS dan Komite Olimpiade Internasional (IOC) untuk menginvestigasi kasus pencatutan namanya secara sepihak.
Perubahan ini terjadi setelah beberapa atlet Belarus lain yang seharusnya berlomba di cabang tersebut gagal dalam tes doping. Oleh karena itu, Tsimanouskaya yang diminta menggantikan mereka mengkritik permintaan pelatih atas dasar kurangnya persiapan yang memadai untuk berlomba di tingkat tersebut. Kendati begitu, dilansir dari Reuters, Tsimanouskaya menyatakan pelatih tidak dapat merubah kebijakannya karena perintah tersebut datang dari pejabat tinggi Belarus. Pemulangan paksa Tsimanouskaya juga diperkuat oleh pernyataan resmi pelatih Belarus, Yuri Maisevich, bahwa Tsimanouskaya juga diturunkan dari perlombaan Tokyo 2020 atas aspek psikologis yang tidak stabil.
“Saya tidak akan agresif (kritik) apabila mereka (ofisial) memberi waktu untuk penjelasan kepada saya. Percayalah meski saya belum pernah berlomba di cabang estafet 4 x 400 meter, saya akan mendukung tim dan semuanya dapat terus berjalan semestinya. Tetapi dalam kasus ini (doping dan pencatutan nama) seharusnya ofisial dan pejabat tinggi negara menghormati dan menghargai pendapat kami (atlet).” ujar Tsimanouskaya dalam akun Instagramnya.
Insiden ini mengundang berbagai tanggapan dan tekanan dari dalam negeri maupun luar negeri Belarus. Mulai dari anggota Belarusian Sports Solidarity Foundation (BSSF) Dimitry Navosha yang berkata “Saya mencium gelagat yang tidak baik dari ofisial tim, lebih baik dia (Tsimanouskaya) tidak pulang.” Lalu Jubir IOC Mark Adams yang dilansir dari The Guardian dalam pernyataan resminya telah meminta pihaknya untuk melakukan investigasi atas kasus ini sekaligus membuat tenggat waktu bagi Komite Olimpiade Nasional (NOC) Belarus untuk menjelaskan status Tsimanouskaya. Sedangkan terakhir Jubir European Commission Nabila Massarali yang dilansir dari AP, menyatakan bahwa perlakuan terhadap Tsimanouskaya merupakan contoh baru dari brutalitas dan represi rezim Presiden Alexander Lukashenko.
Belarus sendiri memang sedang berada di bawah tekanan internasional sejak Mei 2020, di mana telah terjadi unjuk rasa massal oleh rakyat atas sikap otoritarianisme dan penyelewengan kekuasaan oleh Lukashenko dengan memintanya untuk turun setelah 27 tahun menjabat. Insiden Tsimanouskaya di Tokyo 2020 ini merupakan bagian baru kisruh politik Belarus di tataran internasional setelah sebelumnya terjadi insiden pengalihan paksa penerbangan Ryanair 4978 (Athena-Vilnius) pada Juni 2021 oleh otoritas Minsk yang membuat salah satu penumpangnya yakni aktivis Roman Protasevich ditangkap karena dianggap menghasut aksi unjuk rasa melalui kanal Telegram buatannya yang bernama Nexta Live.