
Bayangkan jika Helen Keller dan Rosa Parks hadir di antara generasi Z yang saat ini mendominasi dunia. Mungkin mereka dapat dengan mudah memanfaatkan akses luas terhadap berbagai platform media massa yang ada untuk menyebarkan informasi dan gerakan sosial berskala besar. Dengan bantuan berbagai kemajuan teknologi yang disuguhkan dari generasi-generasi sebelumnya, informasi hanya dibatasi oleh satu klik tombol “post” untuk menghasilkan dampak secara global. Memiliki pengaruh yang besar, potensi generasi Z untuk membuat dunia lebih baik tentu lebih tinggi. Namun, kenyataannya tidak se-optimis itu.
Generasi Z merupakan sebutan yang dibuat untuk orang-orang yang lahir di antara tahun 1997-2012. Kelahiran generasi ini disambut oleh resesi ekonomi skala besar, tetapi, mereka pula yang menjadi generasi pertama dalam merasakan perkembangan dan akses teknologi berskala besar. Kehidupan generasi Z yang berputar-putar di sekitar internet, membuat mereka tidak dapat membayangkan kehidupan tanpa hal tersebut. Terbiasa akan perolehan informasi yang instan, hal ini lalu menggiring generasi Z untuk menginginkan hasil dan kepuasan yang instan pula.
Alih-alih bekerja untuk perusahaan besar agar eksistensinya dihargai dan diakui, generasi Z mengambil langkah yang mereka anggap lebih realistis untuk mendapatkan kestabilan ekonomi. Keinginan untuk berdiri secara independen dan bebas berinovasi menjadi alasan utama generasi Z keluar dari lingkaran pekerjaan formal yang ada. Didukung oleh kemudahan dalam mengakses berbagai platform media sosial, membuat kesempatan untuk berkarir di dunia maya maupun nyata yang dimiliki generasi Z tidak terlewat begitu saja. Hal ini yang membuat generasi Z disebut sebagai generasi yang cenderung mengandalkan diri sendiri untuk mencapai hal-hal yang diinginkannya.
TikTok, Twitter, dan Instagram menjadi pilihan terdepan saat ini bagi mereka yang ingin memulai untuk mendapatkan pengakuan yang mereka inginkan. Di masa ini, konten media sosial dipenuhi oleh para influencer dan content creator yang menjadi panutan dan kepercayaan generasi Z dalam hal gaya hidup, merek baju, hingga tren terdepan. Membuat mereka tidak hanya sekedar menjadi panutan, generasi Z atau bahkan generasi milenial nyatanya ingin menjadi mereka. Menurut laporan yang dilakukan oleh Morning Consult, sebanyak 54% dari generasi Z maupun milenial di Amerika akan memilih untuk menjadi seorang influencer jika diberikan pilihan. Dilanjutkan dengan 86% dari mereka bersedia untuk dibayar untuk mensponsorkan suatu konten tertentu.
Di sisi agensi ataupun rumah produksi, tren influencer cukup menguntungkan bagi mereka. Dengan bantuan media sosial, bintang-bintang yang dipuja oleh pengikutnya menjadi pilihan yang tepat dan lebih aman untuk ditempatkan untuk mengisi peran di dalam berbagai film maupun sinetron. Selain untuk menarik perhatian para pengikutnya dan generasi muda, mereka pun bertujuan untuk menghadirkan wajah-wajah baru di ranah hiburan. Kesempatan untuk meraih keuntungan sebanyak mungkin juga semakin besar mengingat para influencer dapat mempromosikan dirinya sekaligus film yang dibintanginya sendiri.
Maka, tidak heran bahwa banyak dari generasi Z yang menciptakan berbagai tren, tingkah konyol, lagu, bahkan tarian yang membedakan dirinya dengan generasi Z lainnya demi sorotan dan sesaat. Hal ini lalu memberikan mereka harapan untuk “panggung” yang lebih besar lagi. Namun, karir instan yang dibangun tersebut tidak selalu menjamin perjalanan mulus ke depan. Belakangan ini, terdapat kasus yang memicu emosi masyarakat Indonesia karena suatu rumah produksi memutuskan untuk melibatkan Lea Ciarachel, bintang sinetron dibawah umur yang baru naik daun untuk melakukan adegan yang tidak sesuai dengan umurnya.
Mengawali karir dari Instagram, membuat langkah untuk menjadi bintang sinetron membuka pintu bagi Lea untuk meraih kesempatan yang lebih besar di kemudian hari. Namun, hal ini harus terhenti sementara karena kasus yang terjadi di luar kendalinya. Diberikan peran utama dalam suatu sinetron nasional, membuat siapapun bangga atas pencapaiannya. Namun, hal tersebut tidak berlangsung lama mengingat peran yang akan dilakoni tidak mendapatkan umpan balik yang positif dari penonton. Kasus ini berujung pada terbentuknya kecaman oleh publik mengenai tayangan kontroversial tersebut. Petisi juga dibuat melalui laman change.org yang bertujuan untuk memboikot disiarkannya sinetron. Hingga saat ini, petisi telah ditandatangani lebih dari 50 ribu orang dari seluruh Indonesia.
Tidak selamanya hal yang instan dapat berujung pada sesuatu yang baik. Informasi instan yang didapatkan generasi Z membuat mereka berpikir bahwa hasil dan pengakuan juga diharapkan didapatkan secara cepat. Terlepas dari keinginan untuk bergerak secara independen, potensi yang dimiliki oleh generasi Z nyatanya tetap dipengaruhi tolak ukur aktor-aktor yang memiliki pengaruh lebih besar yang di luar kendali mereka. Jika mengetahui hal ini, apakah mereka yang ingin menjadi influencer tetap menginginkan hal tersebut walaupun harga yang harus ditanggung juga besar?