Jerman yang saat ini sedang menjabat sebagai presiden G7 mengadakan Pertemuan Khusus Menteri Pertanian G7 pada Jumat (11/3). Pertemuan ini dilaksanakan secara virtual dan dihadiri oleh ketujuh negara anggota yaitu Jerman, Kanada, Prancis, Italia, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat. Agenda pertemuan kali ini adalah untuk membahas dan mencari solusi terkait kemungkinan krisis pangan di kawasan Eropa akibat konflik Rusia-Ukraina.
Dikutip dari Reuters, Menteri Pertanian Jerman, C em Oezdemir, mengatakan bahwa kondisi ketersediaan pangan di Jerman dan Uni Eropa saat ini masih aman, tetapi kelangkaan pangan lebih mungkin terjadi di luar Uni Eropa terutama di negara yang sudah mengalami krisis akibat kondisi iklim. Menanggapi hal tersebut, G7 memutuskan untuk mengambil tindakan. Dilansir dari Euractiv, ketujuh negara anggota sepakat untuk menandatangani deklarasi bersama yang menunjukkan solidaritas dengan Ukraina. Mereka juga berkomitmen untuk menjaga pasar makanan tetap terbuka serta memberi dukungan terhadap pasokan pangan di Ukraina. Hal ini dilakukan dengan cara memfasilitasi panen dan memastikan para petani Ukraina mampu memberi makan para penduduk negaranya.
Sebagai negara yang dijuluki “keranjang roti Eropa”, Rusia dan Ukraina merupakan pengekspor utama bahan makanan pokok dalam pasar dunia. Dilansir dari CNN, kedua negara ini mengekspor hampir 30% gandum dan produk bunga matahari, seperti minyak dan biji-bijian. Sayangnya, Ukraina harus menghentikan pengiriman komersial di pelabuhannya akibat invasi yang dilakukan oleh Rusia. Terhentinya ekspor dari Ukraina membuat harga bahan makanan pokok melambung tinggi. Berdasarkan data dari CNN, harga gandum global mencapai 12,53 USD yang merupakan titik tertinggi selama 14 tahun terakhir.
Menanggapi fenomena tersebut, Direktur Jenderal FAO, Qu Dongyu, membuka suara. Dalam pertemuan G7 tersebut, Dongyu mengatakan bahwa konflik antara Rusia dan Ukraina akan membawa dampak signifikan bagi ketahanan pangan jutaan orang di seluruh dunia. Selain itu, konflik ini juga akan meningkatkan angka kelaparan dunia secara signifikan. Padahal, selama empat tahun terakhir, angka kelaparan sudah meningkat dari 80 juta menjadi 276 juta sebelum terjadinya invasi Rusia. Mendengar hal tersebut, beberapa negara seperti Mesir dan Indonesia mulai khawatir atas ketahanan pangan di negaranya. Dikutip dari CNN, Mesir kini melarang ekspor gandum, tepung, lentil, dan kacang-kacangan. Selain itu, Indonesia juga mulai memperketat ekspor minyak sawit sebagai tanggapan atas kemungkinan krisis tersebut. Menanggapi pembatasan ekspor tersebut, para menteri G7 meminta negara-negara untuk tidak melakukan hal tersebut dan tetap membuka pasar pertanian dan makanan dunia.
Tidak hanya industri pangan, industri gas alam dan pupuk juga mengalami dampak yang cukup signifikan dari konflik Rusia-Ukraina. Dikutip dari CNN, harga normal gas global berada pada angka 4,49 USD per mmBtu. Namun, harga gas mengalami peningkatan hingga mencapai 5,01 USD pada Jumat (4/3) akibat invasi Rusia. CEO Yara International, Svein Tore Holsether, mengatakan kepada BBC bahwa kenaikan harga gas alam membuat perusahaannya harus membatasi produksi amonia dan urea hingga 45%. Hal ini akan berdampak pada ketahanan pangan karena produksi makanan akan mengalami penurunan hingga 50% apabila tidak menerima pupuk.
Hingga saat ini, konflik antara Rusia dan Ukraina terus berlanjut dan belum menunjukkan adanya deeskalasi. Beberapa waktu lalu, salah satu kota di Ukraina yakni Kota Mariupol mengalami serangan yang cukup besar dan memakan banyak korban jiwa. Dilansir dari BBC, korban dalam serangan tersebut mencapai angka 2.100 jiwa. (TK)