Himbauan mengenai berakhirnya penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB oleh pemerintah disambut beragam respon dari berbagai kalangan di Indonesia. Dengan dimulainya kebiasaan yang baru, sebagian masyarakat, termasuk anak-anak, memanfaatkannya untuk melakukan aktivitas di luar rumah setelah lebih dari tiga bulan harus berdiam di rumah guna memutus rantai penyebaran virus COVID-19. Namun, meski anak-anak cenderung tidak bepergian keluar sesering orang dewasa, kesehatan anak-anak justru menjadi sangat vital dalam upaya penyesuaian terhadap kebiasaan yang baru.
Mengacu pada kondisi tersebut, orang tua selaku pembimbing bagi anak memiliki peran yang krusial dalam menyosialisiasikan prosedur kesehatan: mulai dari mengingatkan tentang pentingnya penggunaan masker, membawa cairan pembersih tangan, menghindari kontak fisik secara langsung, hingga menjaga kebersihan. Hal ini semata untuk menjamin kesehatan anak di era kebiasaan yang baru.
Akan tetapi, rencana semulus apapun pasti ada cacatnya jua. Jalanan masih menjadi saksi anak-anak bermain dan berlari sembari bertelanjang muka, serta jemari-jemari kecil yang penuh dengan bersihnya ketidaktahuan akan apa yang telah disentuh. Nampak jelas bahwa anak-anak tersebut belum menerima haknya untuk hidup sehat, atau apakah terdapat peran yang terlewatkan dari orang tua?
Berdasarkan data dari Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Aman Pulungan, dalam wawancaranya dengan VOA, terdapat 584 kasus anak positif COVID-19 dan kurang lebih sebanyak 3.400 anak menyandang status sebagai pasien dalam pengawasan (PDP). Belum lagi kasus kematian anak di Indonesia akibat COVID-19 yang jika diakumulasikan antara penyandang status positif dan PDP mencapai 143 jiwa. Hal tersebut menjadikan Indonesia negara di ASEAN dengan tingkat kematian anak tertinggi akibat COVID-19.
Kekhawatiran ini tidak luput dari peran orang tua dalam mendidik sang buah hati dalam masa rundungan COVID-19. Bahaya daripada hal tersebut seharusnya dapat disampaikan baik secara verbal maupun tindakan, yang keduanya perlu dilakukan secara menyeluruh serta efektif. Namun, merupakan sebuah ironi ketika masih banyak ditemukan masyarakat bukan anak-anak berkeliaran di luar rumah tanpa mengikuti prosedur kesehatan. Banyak di antaranya adalah para orang tua yang sedang bekerja, berbelanja, atau lebih parah lagi: berkumpul dengan rekan-rekannya. Bila demikian, masih adakah batas yang dapat membedakan perilaku antara orang tua dan anak-anak?
Padahal, sudah menjadi perihal umum bahwa salah satu cara untuk membuat anak-anak memahami suatu hal adalah lewat tindakan meniru, dan orang tua berperan sebagai pemberi contoh yang baik pula demi kebaikan sang anak – khususnya secara jasmani di kondisi dewasa ini. Seorang peneliti dari Weill Medical College bernama Peggy Drexler menekankan bahwa perilaku anak-anak seringkali adalah refleksi dari tindakan orang tua, sehingga penting untuk orang tua menjadi role model yang positif bagi buah hati: misalnya dengan turut memakai masker dan membawa cairan pembersih tangan jika hendak bepergian. Kesehatan anak merupakan sesuatu yang vital dan perlu dijaga, dan hal tersebut dimulai dari diri sendiri sebelum diajarkan kepada sang anak. Hal ini semata karena kesehatan menjadi langkah awal bagi anak-anak dalam melakukan segala hal, yang perlu diberi dorongan oleh orang tua.
Kendati keadaan, anak-anak berhak menjalin kehidupan di dalam dunia yang sehat serta aman bagi jasmani. Untuk mewujudkan hal tersebut, pembinaan secara intensif dan tepat perlu diterapkan kepada anak, yang dimulai dari peran orang tua. Sebuah aksi nyata dan berkala, dapat menentukan masa depan. Melalui pola pikir yang sehat, akan muncul lingkungan yang sehat pula bagi anak-anak, kini dan nanti.
“Sebuah aksi nyata dan berkala, dapat menentukan masa depan. Melalui pola pikir yang sehat, akan muncul lingkungan yang sehat pula bagi anak-anak, kini dan nanti.”