Memasuki tahun 2021, pemerintah Tiongkok melalui Presiden Xi Jinping akhirnya secara resmi memperbolehkan para keluarga di Tiongkok untuk memiliki hingga tiga anak. Perubahan kebijakan ini diputuskan oleh Tiongkok menanggapi laporan sensus Negara Tirai Bambu tersebut yang terus-menerus menunjukkan penurunan angka kelahiran. Menurut laporan Biro Statistik Nasional, pada tahun ini angka kelahiran penduduk Tiongkok menyentuh angka terendahnya sejak tahun 1960-an. Hal ini terbukti dari angka kelahiran yang hanya mencapai 12 juta bayi lahir dalam satu tahun. Angka ini terlihat mengalami penurunan sebesar lebih dari 30% dalam lima tahun terakhir dimana pada tahun 2016, angka natalitas berkisar di angka 18 juta. Dilansir dari VOA Indonesia, pertumbuhan populasi keseluruhan Tiongkok yang saat ini telah melambat dan diperkirakan akan berhenti bertumbuh di tahun 2029.
Awalnya, pada tahun 1980, kebijakan terkait pembatasan jumlah anak ini diberlakukan oleh pemerintah Tiongkok untuk mengendalikan laju kelahiran dan ledakan populasi yang dikhawatirkan berpotensi mengancam ketersediaan sumber daya. Akan tetapi, setelah kebijakan satu anak diterapkan puluhan tahun lamanya dengan ancaman sistem denda hingga aborsi serta sterilisasi paksa oleh pemerintah, pertumbuhan populasi penduduk Tiongkok sekarang justru menurun drastis. Untuk kembali mendorong angka pertumbuhan penduduk, pemerintah Tiongkok pun pertama kali mengubah kebijakannya pada tahun 2016 yang memperbolehkan masyarakatnya untuk memiliki dua anak. Namun, kebijakan ini tidak memberikan dampak yang signifikan dilihat dari pertumbuhan angka kelahiran yang tidak bertahan lama. Bahkan pada tahun 2018, pertumbuhan penduduk Tiongkok menyentuh angka terendah sejak tahun 1961 yaitu sebesar 0,381 persen. Kegagalan pemerintah Tiongkok dalam mendorong kembali angka pertumbuhan penduduk Tiongkok ini pun membawa Tiongkok berhadapan dengan ancaman baru: krisis demografi.
Populasi penduduk Tiongkok yang saat ini didominasi oleh masyarakat lanjut usia menjadi kekhawatiran tersendiri bagi pemerintah Tiongkok di tengah perekonomian mereka yang sedang berada di puncak ekonomi global. Semakin menurunnya masyarakat usia produktif menyiratkan semakin minim pula jumlah tenaga kerja yang dapat menyokong perkembangan ekonomi serta pembangunan Tiongkok di masa yang akan datang. Kondisi ini pun menambah beban ekonomi Tiongkok karena masyarakat produktif yang dapat berkontribusi mendukung kesejahteraan sosial semakin berkurang di tengah besarnya beban perawatan kesehatan bagi para pensiunan yang harus ditanggung pemerintah. Bahkan dalam beberapa tahun, krisis penuaan populasi Tiongkok diprediksi akan jauh lebih buruk daripada Jepang.
Akan tetapi, terlepas dari inisiatif pemerintah Tiongkok untuk menangani krisis demografi ini dengan melonggarkan kebijakan pembatasan anak, kebijakan Tiongkok yang memperbolehkan warganya memiliki hingga tiga anak ini diragukan dapat menjadi solusi yang efektif. Dilansir dari BBC, keengganan masyarakat dalam memiliki anak tidak hanya dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, melainkan juga berbagai faktor lain. Adanya peningkatan biaya hidup, tingginya biaya pendidikan, serta perubahan pandangan di tengah masyarakat yang saat ini mengutamakan kesuksesan karier juga turut berkontribusi dalam penurunan angka kelahiran di Tiongkok. Meski begitu, dilansir dari BBC, seorang pakar demografi dari Universitas Xi’an Jiaotong, Dr. Jiang Quanbao optimis bahwa masih ada harapan bagi Tiongkok untuk keluar dari krisis kependudukan ini. Jika pemerintah memberikan lebih banyak dukungan terkait biaya ‘memiliki anak’, alih-alih sekadar memperbolehkan warganya memiliki anak lebih.