Banyak budaya dan komunitas yang menceritakan berbagai mitos tentang makhluk halus yang menyerupai seorang perempuan. Mulai dari budaya-budaya di Asia Tenggara yang kerap kali menceritakan tentang Kuntilanak atau sosok yang serupa di berbagai mitosnya, hingga budaya Arab yang menceritakan sosok Umm Al-Duwais. Di budaya-budaya tersebut, perempuan lebih sering diasosiasikan dengan kelembutan dan sifat yang mengayomi. Maka mengapa hantu yang bersosok seperti seorang perempuan menjadi sebuah hal yang lazim?
Menurut sejumlah sosiolog, sejarawan dan antropolog, sosok hantu perempuan seringkali menjadi sebuah momok bagi masyarakat yang memiliki stigma terhadap suatu ketidakmampuan yang seringkali diasosiasikan pada perempuan. Contohnya Kuntilanak merupakan representasi mitologis dari seorang perempuan yang tidak dapat melahirkan seorang anak dengan selamat – suatu ketidakmampuan perempuan yang sangat tidak diinginkan oleh para perempuan di budaya Asia Tenggara. Sama halnya dengan Umm Al-Duwais, hantu vampir yang sering menyamar sebagai seorang pelacur cantik agar dapat memikat para lelaki yang kerap kali menjadi mangsa kesukaannya.
Dengan merepresentasikan para perempuan dengan ketidakmampuan yang sangat tidak diinginkan sebagai hantu-hantu yang mengerikan, budaya atau komunitas tersebut menciptakan rasa takut atas tidak terpenuhinya berbagai standar yang ada di masyarakat. Ditambah lagi, dengan adanya budaya patriarkis dalam sistem komunitas mereka yang cenderung tidak menghargai perempuan selayaknya mereka menghargai seorang lelaki. Rasa takut terhadap sosok hantu tersebut diwariskan turun temurun hingga hari ini – seperti adanya tabu terkait mengucapkan nama Kuntilanak. Meskipun asal-muasal ketakutan tersebut sering terlupakan, namun mitos tentang makhluk tersebut masih dipercayai sebagian besar masyarakat.
Dan walaupun stigma sosial silih berganti sejalan dengan waktu, masihkah ada stigma sosial kontemporer yang juga memunculkan mitos hantu seperti mitos-mitos hantu perempuan?