Mohawk, jaket kulit, hingga Docmart. Siapa sangka seseorang yang mula berpenampilan punk, sekarang menjadi dosen jurusan Hubungan Internasional di Universitas Katolik Parahyangan? Hikmawan Saefullah, atau yang kerap disapa Indra, telah menunjukkan sisi punk yang masih asing di telinga masyarakat, yaitu punkademic.
Istilah punkademic yang dikembangkan oleh Zack Furness yang merujuk pada sebutan untuk para akademisi dengan identitas sebagai seorang punk. Awalnya, punk merupakan sub-kultur yang berkembang di Inggris dan Amerika pada tahun 1970-an. Dengan membawa komponen budaya seperti musik, fesyen, hingga gaya rambut, punk mulai terkenal di Indonesia melalui saluran MTV dan majalah seperti Aktuil, Hai, serta zine yang berkembang di komunitas skena. “Menariknya, di dunia Barat, mereka tidak menyangka bahwa budaya punk akan berkembang di negara mayoritas muslim. Ternyata, sekarang peneliti banyak yang terkejut bahwa banyak juga punk yang ternyata muslim,” ujarnya.
Ia menambahkan, “Namun, punk itu tidak sebatas sub-kultur fesyen atau gaya rambut semata. Punk merupakan spirit perubahan.” Menurutnya, terdapat tiga prinsip punk global. Pertama, Do-It-Yourself (DIY) yang menekankan pada kemandirian. Kedua, anti-kemapanan, punk mencoba melawan apapun yang melemahkan individu di kehidupan sosial seperti politik yang otoriter. Ketiga, prinsip kesetaraan, punk menganggap seluruh temannya setara; terlepas dari kelas sosial atau bahkan gender.
Indra mengenal punk ketika ia masih menjadi seorang santri sebuah pesantren di Garut pada tahun 1994. Budaya punk yang kian menjamur berhasil mempengaruhi Indra. Selama di pesantren, ia harus bangun pada pukul setengah 4 subuh, dan seluruh kegiatan santri baru berakhir pada pukul 9 malam. Jadwal di pesantren yang begitu padat mendorongnya untuk mencari hiburan. Bermusik, terutama musik punk, merupakan salah satu pelarian kejenuhan bagi dirinya dan teman-teman di sela kesibukan. Indra mengenang bahwa Green Day merupakan band yang sangat berpengaruh dalam menumbuhkan ketertarikannya kepada musik. “Musik punk itu mudah diakses, sangat mudah dimainkan. Selain itu juga partisipatif, dapat mengundang teman-teman untuk ingin bermusik. Punk is empowering people through their channel.”
Berawal berlatih musik di atas kasur asrama, diiringi oleh alunan gitar dan tabuhan bantal sebagai pengganti drum, Indra dan kedua temannya mulai menumbuhkan niat untuk membentuk band. Mereka mulai berlatih di studio musik dan berniat untuk tampil di pesantren tempat mereka belajar. “Saya tampil di hadapan ustadz, santriwan, dan santriwati. Untungnya tidak ada bentrokan budaya. Walaupun saya di panggung teriak-teriakan, para ustadz menganggapnya sebagai kreativitas saja,” kenang dosen mata kuliah Islam Politik ini.
Selepas lulus dari pesantren, Indra melanjutkan sekolah di Bandung. Ia melihat bahwa punk berada di masa keemasannya di Bandung, sehingga terdapat banyak kesempatan bagi bandnya untuk berkembang. Sayangnya, kedua teman Indra meneruskan pesantren di Garut. Namun apalah masa muda apabila tidak berbuat nakal. Terkadang Indra menjemput teman-temannya di Garut untuk kabur dari pesantren pada dini hari. Pagar pesantren mereka loncati demi mengikuti audisi band di Bandung. “Menunggu hasil audisi bisa dari pagi sampai malam. Jadi, kita tunggu hasilnya di depan studio sampai nama band kita dipanggil. Kadang band kita diterima, tapi kadang juga tidak,” ujarnya. “Setelah audisi, saya antar mereka pulang lagi ke pesantren. Diam-diam lagi.. Untung tidak ketahuan,” ia terkekeh.
Indra bercerita bahwa pada tahun 1999, ketika ia berkuliah di HI Unpad, ia sering tidak masuk kelas sebab ia memilih untuk bermain band. Ditambah lagi, ia diterima desain interior FSRD ITB dengan modal iseng-iseng. Menyadari hal tersebut, pada akhir tahun 2000, Indra memutuskan untuk fokus pada pendidikannya dan berhenti bermain band sejenak. “Tapi pada tahun 2001, Athink, drummer saya dari pesantren menelpon. Ia mengajak saya untuk bermain band lagi. Dari sini, lahirlah Alone At Last (AAL) secara resmi pada tahun 2002.”
Seiring dengan bermusik, Indra juga turut mendalami karir di bidang akademik. Ia terinspirasi untuk menjadi dosen HI setelah melihat punkademic HI seperti Kevin C. Dunn dan Matt Davies. Terutama dengan karya Dunn yang berjudul “Nevermind The Bollocks: The Punk Rock Politics of Global Communication” membuka pemikirannya bahwa dunia HI lebih luas dari yang ia kira. Ia menerapkan salah satu prinsip punk dalam mengajar, “Punkademics mengajar dengan cara egalitarian. Antara dosen dan mahasiswa setara, dosen tidak memposisikan dirinya lebih tinggi. Rasa hormat akan lahir dari proses pembelajaran satu sama lain.”
“Banyak punk yang terlibat untuk melakukan perubahan sosial, sayangnya tidak pernah dilihat oleh sarjana-sarjana HI,” Indra menyayangkan. Ia kemudian mengutip kalimat Davies bahwa punk bukanlah bagian dari HI; namun punk adalah HI itu sendiri. Hal ini dapat dibuktikan bahwa seluruh komunitas punk saling terhubung satu sama lain. Punk membangun solidaritas internasional apabila salah satu komunitas mengalami permasalahan seperti punk di Aceh pada tahun 2011. Mereka berusaha menciptakan dunia yang lebih baik bagi sesama melalui keterlibatan gerakan sosial.
Setelah hampir 11 tahun AAL berjalan, Indra memutuskan untuk keluar dari band pada tahun 2013 setelah merilis album INTEGRITI untuk melanjutkan studi doktoral ke luar negeri. Walau Indra tidak lagi bermusik, namun prinsip punk tetap menjadi bagian dari dirinya. “Saya tidak pernah meniatkan, tapi punk sudah menjadi identitas bagi diri saya,” ujarnya. Ia yakin bahwa pengalaman bermusik dan menjadi punk akan selalu diingat sampai ia menua. Terutama bagi dirinya yang merupakan akademisi, prinsip anti kemapanan untuk mendukung perubahan sosial dan egalitarianisme; ia mendukung pendidikan agar lebih baik lagi.
Bagi Indra, berpenampilan punk sudah tidak lagi penting. Menurutnya, yang menentukan seseorang punk atau tidak adalah jiwanya. “Untuk apa mengaku punk tapi jiwanya kolot dan feodal? Menjadi seorang punk tidak perlu klaim dirinya punk. You judge what people do, not what they say.”