Untuk KawanWH, stop kontak dua lubang itu apa, sih? Mungkin hanya barang yang biasa ditemukan hampir di setiap tempat, entah di kampus, kafe, atau pusat perbelanjaan. Tetapi bagiku yang sedang merantau sebagai pelajar di negara yang hanya mempunyai stop kontak tiga lubang, stop kontak dua lubang adalah “rumah”.
Cerita berawal dari kunjunganku ke Leeds, sebuah kota yang terletak di wilayah Yorkshire, Inggris Utara. Kunjungan ini aku lakukan bersama tiga teman lainnya yang juga berasal dari Indonesia. Aku adalah seseorang yang terbiasa bepergian dengan perlengkapan komplit. Aku sudah berpikir, “Pasti nggak ada yang bawa colokan dua lubang yang banyak.” Sebagai bagian dari generasi Z yang selalu menenteng lebih dari satu alat elektronik dan sedang tinggal di Inggris yang mempunyai standar stop kontak yang berbeda, pikiran ini adalah mimpi buruk.
Intuisiku terbukti benar dan ketiga temanku harus meminjam stop kontak panjang yang kubawa dari Indonesia selama menginap di Leeds. Selama dua malam kami menginap, kami pasti selalu harus duduk berdempetan dekat dengan stop kontak itu. Tentu saja karena kebiasaan anak muda memainkan ponsel sambil mengisi daya. Namun, terlepas dari situasi yang sedikit memprihatinkan karena harus duduk berdempetan dan adanya potensi bahaya ledakan, kedekatan fisik ini justru membuka percakapan antara kami. Aku ingat pertukaran lelucon dan tawa yang masih terdengar sampai lewat tengah malam.
Di sinilah terbesit rasa dalam hatiku, “Oh, nyaman juga ya, kayak gini.” Kami bisa saling terhubung dan merasa nyaman di negeri asing dari hal biasa seperti ini. Menciptakan sebuah koneksi yang memberikan rasa persinggahan murni tanpa tujuan lain. Ternyata, hal sederhana seperti stop kontak dua lubang dapat secara tidak langsung, memberikan rasa “rumah” bagiku.
Sebelum melantas lebih jauh, sebenarnya apa itu yang diartikan sebagai sebuah “rumah”? Untuk memahami ini, aku bertanya kepada teman-teman mahasiswa yang juga sedang merantau di Inggris, definisi “rumah” bagi mereka dan apakah persepsi tersebut berubah setelah tinggal jauh dari Tanah Air.
Sebagian besar dari mereka menjawab bahwa rumah bukanlah tempat atau ruang fisik, melainkan dengan siapa mereka berada. Tempat di mana mereka merasa nyaman dan diterima sebagai dirinya sendiri. Tidak memerlukan topeng dan memeragakan watak tertentu untuk dihargai. Beberapa juga mengakui bahwa setelah merantau dan tinggal bersama dengan orang yang baru saja dikenal, tidak terbesit pikiran bahwa mereka bisa merasa nyaman dengan cepat seperti ini. Ada yang bahkan tidak bisa membayangkan apabila mereka di situasi ini dengan orang lain, bahkan dengan teman-teman yang sudah dikenal sejak lama.
Mulai dari sapaan sederhana seperti “Selamat pagi!” setiap bertemu di dapur untuk sarapan, obrolan penuh kepanikan di meja makan tentang tugas esai yang tidak kunjung selesai, sampai sebungkus Tolak Angin yang diletakkan di depan pintu kamar ketika ada yang mengeluh pusing memupuk perlahan perasaan ini.
Berbekal pengakuan teman-temanku dan pengalaman sendiri, aku memiliki persepsi bahwa “rumah” tidak selalu harus berbentuk susunan bata dan semen lengkap dengan kaca dan atap. Rumah dapat ditemukan dalam hal-hal sederhana yang biasa ditemukan setiap hari namun dapat membawa perasaan nyaman dan penerimaan yang utuh. Hal sederhana seperti stop kontak dan meja makan bisa membuka percakapan dan membuka koneksi antaramu dan orang lain di sekitarmu.
Harus aku akui, hal seperti ini tidak mudah untuk dilakukan dan ditemui. Sebagai seseorang yang terbiasa memasang tembok yang tinggi dan jarang memperbolehkan orang lain masuk dengan mudah, membuka diri menjadi hal yang menakutkan. Namun, untuk menjalin kedekatan seperti ini memerlukan keberanian dan percayalah, tidak semuanya berakhir buruk. Hal yang penting adalah bagaimana kamu kenal dengan diri sendiri sehingga tahu di mana tempat paling nyaman yang bisa kamu singgahi di antara jejaring koneksi antar manusia ini.
Akhir kata, mungkin saat pertama kali membaca ini kamu menganggap aku konyol, mengartikan stop kontak dua lubang sebagai rumah. Tetapi aku harap kamu mengerti bahwa tulisan ini bukan tentang stop kontak, melainkan tentang bagaimana hal sederhana seperti stop kontak dapat menghidupkan rasa “rumah”, bahkan di tempat yang jauh dan asing.
Setiap orang berhak memiliki rumah. Aku harap kamu menemukan milikmu.