Indonesia Merdeka, Perempuannya Belum

DKI Jakarta adalah salah satu kota tersibuk di dunia. Begitu banyak pekerja aktif di Jakarta, baik yang berasal dari ibukota, merantau, maupun mereka yang memilih untuk pulang pergi dari kota-kota sekitar Jakarta. Badan Pusat Statistik memproyeksikan pada tahun 2020 Jakarta akan bertambah 72 ribu orang, menjadi 10,57 juta orang. Kota Jakarta yang terus berkembang membuat permintaan atas fasilitas umum semakin meningkat, termasuk kebutuhan akan kendaraan umum. Kendaraan umum yang diperlukan berupa kendaraan yang berkapasitas minim seperti angkot, metromini dan taksi; hingga kapasitas sedang ke besar seperti Kopaja, bus Transjakarta, KRL, LRT, dan MRT. Fasilitas umum tersebut kerap dimanfaatkan warga di wilayah sekitar, yakni Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi untuk menjadi kendaraan yang menghubungkan akses jalan ke Jakarta. Tetapi, seiring dengan pemakaian rutin oleh khalayak umum, fasilitas-fasilitas tersebut membutuhkan pemeliharaan bersama. Hal ini bertujuan agar tetap menjaga bukan hanya kenyamanan, tetapi juga keamanan pemakai fasilitas. Tetapi, apakah fasilitas tersebut yang juga merupakan ruang publik milik bersama telah terjamin keamanan dan kenyamanannya?

Kini, sayangnya, ruang publik sering diwarnai dengan kejadian-kejadian yang mengganggu kebebasan akan keamanan dan kenyamanan masyarakat. Terutama bagi para perempuan pengguna fasilitas yang sering mengalami pelecehan seksual. Kasus pelecehan seksual dalam kendaraan umum dan ruang publik masih sangat sering terjadi. Pada tahun 2019, Koalisi Ruang Publik Aman menemukan bahwa 3 dari 5 perempuan dan 1 dari 10 laki-laki mengalami pelecehan di ruang publik, termasuk dalam kendaraan umum.

Hampir setengah responden perempuan dari 62.224 total responden yang berasal dari 34 provinsi dengan latar belakang usia, status pendidikan, dan status ekonomi yang berbeda-beda mengaku pernah mengalami pelecehan dalam kendaraan umum. Sebanyak 35,45% mengalami pelecehan di dalam bus, 30% di dalam angkot, 18% pada ojek dan taksi online, 18% di dalam KRL, dan 6% pada ojek dan taksi konvensional. Fakta yang didapatkan oleh Koalisi Ruang Publik Aman melalui survei tersebut menyatakan bahwa perempuan 13 kali lebih rentan terhadap pelecehan seksual di ruang publik daripada laki-laki. Namun, ini belum termasuk laporan dari tahun-tahun sebelumnya, serta korban yang tidak melaporkan kejadian.

Mengenai kasus ini, banyak dari khalayak umum berasumsi bahwa korban pelecehan seksual, atau yang disebut juga penyintas, mengalami pelecehan karena atribut yang dikenakan, seperti mengenakan pakaian yang terbuka atau ketat. Nyatanya, kebanyakan penyintas mengalami pelecehan seksual saat mengenakan pakaian tertutup. Organisasi aktivis non-profit seperti Hollaback! Jakarta, perEMPUan, Lentera Sintas Indonesia, Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta (JFDG), dan Change.org Indonesia berkolaborasi untuk melaksanakan survei mengenai pelecehan seksual di ruang publik. Survei tersebut menemukan bahwa lebih dari setengah responden menyebut mereka mengalami pelecehan seksual di ruang publik justru ketika sedang memakai celana atau rok panjang, hijab dan baju lengan panjang.

Selain itu, hasil survei ini juga menunjukkan bahwa lebih banyak korban mengalami pelecehan di siang dan sore hari dibandingkan dengan malam hari. Fakta ini bertentangan dengan asumsi bahwa pelecehan seksual terjadi di malam hari. Transportasi umum dan halte merupakan salah satu dari tiga lokasi yang paling sering terjadi pelecehan seksual (19%), bersama dengan jalanan umum (33%) serta sekolah dan kampus (15%), dengan bentuk pelecehan seksual verbal yang sering terjadi di ruang publik.

Dari hasil survei di atas, terlihat bahwa yang perlu dicegah adalah (calon) pelaku, bukan (calon) korban. Kejahatan dilakukan oleh orang yang melakukannya, dan bukan korban yang “mengundang” kejahatan, dan pelecehan seksual adalah tindakan yang murni disebabkan oleh sang pelaku, tanpa ada campur tangan dari pelecehan, dan sama sekali bukan salah korban.

Sayangnya, perlindungan hukum bagi korban pelecehan ataupun kekerasan seksual lainnya masih sangat jauh dari sempurna. Pada 4 Juli 2020 di Lampung Timur, Kepala Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang seharusnya mendampingi seorang anak korban pemerkosaan malah memerkosa anak tersebut. Berbagai data dari Komnas Perempuan juga menunjukkan masih banyak pelecehan dilakukan oleh pejabat publik. Ditambah lagi dengan absennya payung hukum yang melindungi korban.

Dikutip dari Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), segala perbuatan seksual yang menentang/memaksa/mengancam kehendak/persetujuan seseorang digolongkan dalam tindakan kriminal. Misalnya pelecehan seksual, kekerasan seksual, eksploitasi seksual, pemerkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan pelacuran, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, dan penyiksaan seksual. RUU PKS tersebut berpihak pada perlindungan semua korban tanpa diskriminasi usia, identitas gender, maupun orientasi seksual. Namun sayangnya, pembahasannya dianggap kontroversial dan bernuansa liberal.

Pada awal tahun 2020, Litbang Kompas mengadakan survei mengenai perlunya RUU PKS. Dari 547 responden dengan usia minimal 17 tahun di 16 kota besar di Indonesia, 94,9% khawatir dengan kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat dan percaya bahwa RUU PKS perlu segera diterapkan. Sebanyak 67,8% percaya bahwa kinerja penegakan hukum dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual tidak memuaskan.

Semangat kemerdekaan dari kolonialisme selalu berkoar dan masyarakat selalu haus akan pesan nasionalisme. Namun, layakkah Indonesia dikatakan sudah merdeka ketika perempuan dan korban pelecehan belum sepenuhnya merdeka dan masih dibayangi oleh ketakutan abadi? Apakah pantas membela nasionalisme dengan mata tertutup sembari membungkam korban kekerasan seksual? Percaya dan lindungi korban kekerasan seksual; evolusi dimulai dari revolusi, dan perubahan hanya akan terjadi ketika ada perbuatan yang diambil.