Pengadilan Tinggi India secara resmi menegakkan larangan penggunaan hijab di Negara Bagian Karnataka pada Selasa (15/3). Berdasarkan putusan tersebut, siswa perempuan dilarang untuk menggunakan hijab di dalam institusi pendidikan, khususnya di dalam ruangan kelas. Dalam sidang yang dilaksanakan pada hari yang sama, Ketua Hakim Ritu Raj Awasthi mengatakan bahwa hijab bukanlah bagian dari praktik keagamaan yang penting. Selain itu, Awasthi juga mengatakan bahwa sudah menjadi kewajiban siswa untuk mematuhi aturan seragam sekolah yang sah secara konstitusional. Putusan pengadilan ini bukanlah putusan yang tiba-tiba melainkan tanggapan atas protes yang telah terjadi selama dua bulan terakhir.
Taliban merilis aturan baru yang mewajibkan semua perempuan di Afghanistan untuk menggunakan burqa, sebuah kerudung yang menutup tubuh dari kepala hingga kaki. Aturan ini secara resmi dibacakan oleh Pemimpin Tertinggi Taliban, Hibatullah Akhundzada, dalam konferensi pers pada Sabtu (7/5).
Dalam konferensi pers tersebut, Shir Mohammad, pejabat Kementerian Keburukan dan Kebajikan Taliban, mengatakan bahwa aturan ini dibuat berdasarkan hukum dan tradisi Islam. “Karena semua perempuan Afghanistan yang bermartabat memakai hijab dan bentuk terbaik dari hijab adalah chador (cadar/burqa), yang merupakan bagian dari tradisi kami dan (bersifat) sopan,” ucapnya kepada Associated Press.
Mengutip dari BBC, Taliban hanya mengeluarkan aturan ini sebagai saran terkait hal apa yang sebaiknya dilakukan oleh wanita Muslim. Namun di saat bersamaan, Taliban juga menetapkan seperangkat tindakan yang akan dilakukan kepada orang yang tidak menaati ‘saran’ ini. Tindakan tersebut terdiri dari tiga tingkatan. Pada tingkatan pertama, rumah pelanggar akan didatangi dan wali laki-laki pelanggar akan diberi teguran keras. Lalu, pada tingkatan kedua, wali laki-laki pelanggar akan dipanggil ke kementerian. Sementara pada tingkatan ketiga, wali laki-laki pelanggar akan diadili dan dapat dipenjara selama tiga hari.
Tanggapan Perempuan Afghanistan dan Masyarakat Internasional
Menanggapi hal tersebut, banyak pihak memutuskan untuk angkat suara. Seorang profesor dari universitas di Kabul menganggap dirinya dan perempuan Afghanistan diperlakukan seperti objek seksual. “Mengapa mereka membuat (para) wanita menjadi objek seksual? Mengapa kita harus diperlakukan seperti masyarakat kelas tiga hanya karena mereka tidak menaati perintah Islam dan tidak bisa menjaga arah mata mereka?” ujarnya kepada Al Jazeera.
Seorang aktivis perempuan, Hamasa Mohammadi, juga ikut berpendapat. “Menurut saya, hijab yang mereka (Taliban) tentukan bagi kami adalah hijab kesukuan mereka dan mereka ingin memberlakukan itu pada kami, yang tidak dapat diterima bagi perempuan Muslim Afghanistan,” ujarnya kepada Associated Press.
Tidak hanya perempuan Afghanistan, masyarakat internasional juga ikut membuka suara. Dilansir dari situs resminya, United Nations Assistance Mission in Afghanistan (UNAMA) menyatakan keprihatinan mendalam terhadap aturan baru ini. “Keputusan ini bertentangan dengan banyak jaminan mengenai penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia semua warga Afghanistan, termasuk perempuan dan anak perempuan, yang telah diberikan kepada masyarakat internasional oleh perwakilan Taliban selama diskusi dan negosiasi selama (beberapa) dekade terakhir,” tulis UNAMA dalam pernyataan resminya pada Sabtu (7/5).
Bahkan Wakil Menteri Luar Negeri Norwegia, Henrik Thune, juga ikut buka suara. “Saya marah mengetahui ada pengumuman yang memperingatkan bahwa perempuan di Afghanistan harus menutupi wajah mereka di tempat umum, tidak bisa mengendarai mobil, dan hanya meninggalkan rumah bila diperlukan,” ujar Thune pada Minggu (8/5) kepada VOA Indonesia. “Kebijakan Taliban terus menindas perempuan dan anak perempuan, bukannya mengatasi krisis ekonomi dan kebutuhan akan pemerintahan yang inklusif,” tambahnya lagi.
Perempuan Afghanistan Semakin Dikekang
Aturan burqa ini bukanlah aturan satu-satunya yang merenggut hak dan kebebasan perempuan di Afghanistan. Sebelumnya, Taliban juga sudah menerapkan aturan kontroversial lainnya terhadap perempuan, seperti melarang perempuan untuk mendapatkan pendidikan menengah, membatasi akses mereka dalam kursi pemerintahan, dan melarang mereka meninggalkan kota atau negara mereka tanpa wali laki-laki. Hal ini menimbulkan protes dan demonstrasi kecil dari para perempuan. Namun, pasukan Taliban dengan mudah membubarkan demonstrasi dan menangkap serta mengisolasi para pemimpin demonstrasi tersebut. (IS)