Jack of All Trades, Master of None – Cerita Audy

Jack of all trade, master of none. Frasa ini terus dipikirkan Audy, mahasiswa Hubungan Internasional (HI) tingkat akhir, dalam menjalani penghujung masa perkuliahannya. Audy terdiam dalam kelas Statistika Sosial yang akan menghabiskan waktu 3 SKS-nya dengan percuma. Lamunan Audy memikirkan apa yang akan dilakukannya setelah lulus nanti. Wajar, Hubungan Internasional adalah ilmu multiperspektif yang mempelajari sedikit tentang banyak hal. Apalagi dalam perkembangannya, selalu ada ilmu baru yang masuk mempengaruhi HI: mulai dari feminisme sampai nihilisme. Saat ini, yang Audy bisa pikirkan hanyalah kemampuannya dalam berbicara yang sangat terasah selama dia mengikuti Model United Nation (MUN).

Pikiran Audy berjalan kembali menuju semester 4 ketika ia pertama belajar tentang akar ilmu HI yang lahir dari kajian perang. Saat itu, Audy sangat senang membuat tulisan tentang pemikir realis seperti Sun-Tzu, Machiavelli, hingga membahas Thucydides. Akan tetapi, pikiran kontradiktif mulai muncul karena Audy menganggap power bukanlah segalanya.

Ia merasa HI tidak hanya sebatas hubungan destruktif. HI jauh lebih berharga dari itu, pikirnya.

Mungkin, jika ia menekuni semua mata kuliah tentang politik dan keamanan internasional, ia dapat benar-benar memaknai esensi HI dan menjadi seorang diplomat ataupun peneliti di CSIS. Akan tetapi, Audy merasa pekerjaan tersebut terlalu kaku untuk kehidupannya yang selalu mengimbangi buku dengan pesta dan cinta.

Audy sangat cinta dengan filsafat. Sudah lama pikirannya termakan skeptisisme ala Camus. Tentu, ia juga jatuh cinta dengan paras filsuf dan gayanya yang berkelas itu. Audy pun berpikir: mungkin, dia akan menjadi seorang penulis saja. Bekal filsafat Audy tentu sangat dapat digunakan untuk membuat dialog-dialog menarik dalam sebuah cerita fiksi, maupun non-fiksi. Moralitas Audy juga sangat tinggi, tentu bukunya juga tidak akan menjadi cerita kosong tanpa benang merah. Mungkin saja ia akan menjadi penulis best-seller yang mendunia.

Akan tetapi, ia kemudian tersadar bahwa penghasilan penulis tidaklah pasti. Bergantung pada karyanya. Belum tentu pula setelah terbit, bukunya akan dibeli orang. Audy memang selalu kurang percaya diri meskipun kemampuannya sangat jauh di atas teman-temannya. Selain itu, Audy juga ingin kaya. Dia ingin memiliki penghasilan tetap 2 digit agar kehidupannya menjadi lebih mudah. Dengan begitu, Audy mengurungkan niatnya menjadi penulis.

Audy kaget saat namanya dipanggil oleh dosen untuk menjawab sebuah pertanyaan. Untungnya, Audy dapat menjawab walaupun melamun sedari tadi.

Sekarang dia mulai berpikir tentang apa saja yang sudah ia pelajari selama berkuliah di HI UNPAR selain dari sisi akademik. Audy sadar, HI telah melatihnya untuk berpikir kritis dan melihat segala sesuatu melalui multiperspektif.

Apakah mungkin seorang Audy menjadi konsultan di perusahaan Big 4? Lama pikirannya terjebak di sini. Banyak uang, terlihat pintar, kerja penuh tantangan dan tidak monoton. Semua masuk dalam kategori calon pekerjaan Audy. Tapi tentu waktu menjadi permasalahan. Menjadi konsultan sama saja mengabdikan waktu untuk kerja. Sementara, Audy masih ingin menikmati dunia.

Bingung dan kecewa mulai menghantui Audy. Kemudian, ia terpikir akan hal lain yang tidak kalah penting: HI mengajarkan Audy menjadi peduli akan isu sosial! Ia kemudian terjebak dalam putaran pemikiran tentang isu sosial. Dia sangat benci dengan orang-orang yang terus-menerus merusak alam, dan mereka yang tidak menghargai HAM serta kebebasan orang lain. Apalagi patriarki, satu hal yang sangat ia benci. Audy kemudian memutar otaknya; bertanya bisa jadi apa ia jika terjun dalam fenomena itu?

Sambil merapikan tas, Audy masih memikirkan tentang berbagai masalah sosial. Tentu dengan moralitas tinggi, kemampuan berbicara hebat, dan pikiran kritis Audy, isu sosial hanya akan menjadi permainan kecil baginya. Tetapi, Audy sangat ingin mengadvokasikan nilai-nilai tersebut agar kehidupan masa depan dapat menjadi lebih baik dengan masyarakat yang teredukasi. Seraya meninggalkan ruangan kelas, dia telah memantapkan kehidupannya setelah lulus kuliah. Entah sementara atau tidak, formal maupun informal, Audy ingin menjadi Social Justice Warrior (SJW).