Kasus Penembakan Atlanta: Di Mana Keadilan bagi Orang Asia-Amerika?

Sumber: usatoday.com

Tagar #StopAsianHate dan #AsianLivesMatter muncul menjadi topik nomor satu yang sedang tren di Twitter pada Kamis (18/3). Hal ini muncul sebagai gerakan anti kekerasan terhadap orang Asia menanggapi aksi penembakan massal yang terjadi pada Selasa (16/3) oleh seorang pria di area metropolitan Atlanta, tepatnya di sebuah spa bernama Young’s Asian Massage. Penembakan tersebut melukai lima orang dan empat diantaranya dinyatakan meninggal dunia. Pada waktu berdekatan, kejadian serupa dilaporkan terjadi di sebuah salon kecantikan dan perawatan tubuh bernama Gold Massage Spa dan Aromatherapy Spa. Penembakan di kedua tempat tersebut kembali menewaskan empat orang sehingga keseluruhan insiden penembakan di ketiga area spa ini menimbulkan total delapan korban jiwa, dimana enam orang diantaranya diidentifikasi merupakan perempuan Asia.

Dilaporkan oleh NY Times, Robert Long, seorang warga dari Woodstock, Georgia, ditangkap dan dijadikan tersangka beberapa jam setelah penembakan tersebut terjadi. Long berhasil diamankan oleh kepolisian setempat di area selatan Atlanta bersama dengan sebuah senjata api di dalam mobil SUV hitamnya. Menurut pengakuan Long kepada tim penyidik, penembakan ini ia lakukan atas dasar adiksi seksual yang dialaminya. Namun, dalam penyelidikan yang dilakukan oleh kepolisian Atlanta, wakil kepala kepolisian Charles Hampton Jr., menegaskan bahwa motif tersangka dalam penembakan ini masih belum bisa dipastikan, “Investigasi kami akan melihat segala kemungkinan,” tegas Hampton. Maka dari itu, pihak berwenang pun tidak menutup kemungkinan adanya motif lain seperti kebencian ras terhadap orang Asia di balik penembakan publik ini.

Tidak dapat dipungkiri, isu kebencian ras terhadap orang-orang Asia di Amerika telah berlangsung lama dan bahkan mengalami peningkatan sejak merebaknya pandemi COVID-19 pada tahun 2020 silam. Jika dibandingkan dengan tahun 2019, menurut data dari Pusat Studi Kebencian dan Ekstremismetercatat pada tahun 2020 lalu terjadi peningkatan isu-isu kejahatan kebencian sebesar 149% terhadap orang-orang Asia-Amerika. Peningkatan tajam ini disinyalir banyak dipengaruhi oleh menyebarnya suatu asumsi publik yang merujuk pada COVID-19 sebagai ‘The China Virus’. Hingga saat ini, terlepas dari pengakuan Robert Long mengenai motif di balik tindakannya, penyelidikan terhadap motif penembakan ini masih berlangsung.

Seorang senat Amerika Serikat, Tammy Duckworth, mengatakan bahwa insiden ini jelas terlihat sebagai insiden yang didasari oleh motif kebencian ras. “Saya menginginkan penyelidikan lebih dalam terkait apakah penembakan ini dan kejahatan serupa lainnya didasari oleh alasan ras,” ujar Duckworth dalam sebuah wawancara.

Begitu juga dengan Senator negara bagian Georgia, Raphael Warnock sebagaimana dilansir dari Reuters, turut menyayangkan terjadinya insiden kekerasan ini, “Kita semua mengenali kebencian ketika kita melihatnya.” Bagi dunia hukum dan perpolitikan di Amerika, khususnya di negara bagian Georgia, insiden ini telah menguji akuntabilitas bagi hukum baru setempat terkait kejahatan kebencian yang baru saja ditandatangani oleh Gubernur Georgia, Brian Kemp, pada musim panas lalu. Hukum di negara bagian Georgia ini mengikutsertakan motif kejahatan berbasis ras dan gender sebagai kategori kejahatan kebencian. Kedua kategori tersebut pun dilihat oleh advokat hukum sebagai bukti yang dapat memperkuat tuduhan terhadap Robert Long atas pelaksanaan kejahatan kebencian. Meski begitu, kasus penembakan ini tetaplah menjadi sebuah tantangan bagi para jaksa untuk menetapkan tuntutan kejahatan kebencian terhadap Robert Long sebelum ada penyelidikan yang mendalam dan menyeluruh karena sulitnya untuk membuktikan kejahatan kebencian secara yurisdiksi. Ditambah lagi, dengan terbatasnya mobilitas akibat COVID-19, persidangan juri dan proses pengadilan pun disinyalir akan terhambat sehingga mempersulit penerapan hukum kejahatan kebencian baru Georgia.