Ke Mana Arah Perfilman Indonesia?

Dunia perfilman Indonesia masih sering dipandang sebelah mata oleh berbagai kalangan. Kebanyakan orang Indonesia lebih mengenal dan berkenan untuk menyaksikan film luar negeri (layaknya film hasil produksi Korea Selatan serta Hollywood) daripada film tanah air. Memang, film luar terlihat lebih berkualitas dan lebih berani dalam menyampaikan cerita mereka, seakan-akan tidak ada tema yang terlalu tabu dan tidak ada cerita yang terlalu kontroversial untuk dibawa ke layar perak.

Dalam skala produksi, film Indonesia belum memiliki anggaran sebesar film luar. Alhasil, jangkauan dalam pemasarannya pun belum bisa menyaingi mereka. Walau tidak memiliki anggaran dan jangkauan sebesar padanan luar mereka, bukan berarti film-film yang dihasilkan oleh para seniman dalam negeri tidak memiliki pesan serta bobot yang setara atau bahkan jauh lebih besar dari karya seniman luar.

Perfilman Indonesia dimulai sebagai sebuah alat propaganda politik Jepang, namun mampu bertahan mengikuti perkembangan zaman. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kejadian besar dalam aspek sosio politik yang memiliki pengaruhnya tersendiri, seperti pemboikotan film yang berbau imperialisme Amerika, gejolak politik peristiwa G30S, ‘mati suri,’ serta inflasi yang hampir melumpuhkan industri film. Esensi dari film tanah air pun mengalami evolusi, yang bermula dari dominasi tema-tema khusus orang dewasa, horor, seks, dan remaja hingga menuju ke zaman modern ketika isu-isu yang tabu namun penting mulai hadir kembali. Dalam dua dekade belakang, perfilman Indonesia sedang mengalami era kebangkitan.

Terdapat beberapa film yang mengangkat isu-isu tabu dan baru tayang beberapa tahun belakangan ini sehingga masih segar dalam benak masyarakat. Pertama, film Kucumbu Tubuh Indahku yang tayang tahun 2018 lalu. Film ini berhasil menghadirkan masalah seputar LGBTQ+, fluiditas gender, pelecehan seksual, classism, dan kesehatan mental yang terjalin dengan perjalanan sang tokoh utama untuk menyelesaikan masalah emosional dan identitas seksualnya. Pengutaraan berbagai isu ini tidak semena-mena saja, namun disesuaikan dengan keadaan sosiopolitik Indonesia. Kedua, film Dua Garis Biru yang berani menayangkan isu tabu seputar kasus kehamilan pada remaja usia sekolah. Ketiga, film 27 Steps of May yang memberikan representasi kepada korban pelecehan seksual dan menunjukkan kepada khalayak pedihnya trauma yang dialami oleh korban dan orang di sekitarnya.

Tentunya, film-film yang mengandung tema eksplisit ini menuai kritik dan kontroversi dari berbagai pihak. Kucumbu Tubuh Indahku dilarang oleh Wali Kota Depok karena dianggap menormalisasikan penyimpangan seksual dan melanggar nilai agama. Dua Garis Biru di cap sebagai kontroversial karena dianggap mempromosikan seks bebas. 27 Steps of May dipandang mengagungkan perilaku menyakiti diri sendiri dan mendorong victim mentality.

Meskipun dikecam oleh banyak orang, ketiga film ini berhasil mendapatkan pengakuan baik dari tanah air maupun mancanegara. Kucumbu Tubuh Indahku mendapatkan berbagai penghargaan bergengsi dari negara seperti Australia, Italia dan Prancis, Dua Garis Biru meraih berbagai penghargaan dalam negeri, dan 27 Steps of May mendapat penghargaan dari dalam negeri dan Malaysia.

Dengan berbagai penghargaan yang diraih, jelas terlihat bahwa dengan terus membawakan tema-tema tersebut, berbagai stereotip dapat dipecahkan, dan berbagai kalangan bisa mendapatkan representasi yang pantas mereka terima. Penayangan isu-isu ini melalui media seperti film memungkinkan munculnya percakapan di antara masyarakat, yang secara langsung dapat meningkatkan kesadaran akan berbagai masalah yang bersangkutan dengan tema yang diangkat. Jika hal ini terus dilakukan, maka perfilman Indonesia dapat memiliki trajectory yang cerah di masa depan dan bisa bersaing dengan film-film yang diproduksi oleh studio raksasa layaknya Hollywood.

Memang tema-tema ini tabu, dan terdapat banyak kalangan yang lebih memilih untuk memalingkan pandangan mereka dari hal-hal tersebut. Namun, inilah realita, dan seniman-seniman kita sudah mulai berani untuk menatapnya dengan kedua mata. Perfilman Indonesia tidak akan bisa maju dan mengalami ‘renaissance’ jika khalayak tidak mendukungnya.

Bagaimana bisa kita memajukan masyarakat sendiri jika kita masih memandang sebelah mata karya seniman dalam negeri?