Postur gagah, suara lantang, tampang yang mengintimidasi mungkin menjadi sebuah stereotip bagi segelintir aktivis yang gemar turun ke jalan. Dengan tampilan seperti itu, mereka dianggap sebagai pahlawan bagi sebagian orang terutama yang merasa bahwa suara mereka tidak terwakilkan dan didengarkan oleh penguasa. Namun, hal ini tidak selamanya menjadi stigma yang melekat pada aktivis-aktivis tersebut.
Sejak tahun 2020, tercipta banyak gerakan serta pergolakan untuk melakukan demonstrasi di Thailand. Ribuan orang yang menyuarakan hak-haknya menuntut untuk adanya reformasi pada tubuh pemerintahan di negara Monarki Konstitusional tersebut. Mereka yang menyuarakan hak-haknya tersebut menamai aksi mereka sebagai “gerakan pro-demokrasi” yang menginginkan adanya perubahan konstitusi yang lebih demokratis dan reformasi dari sistem Monarki.
Hal ini menyebabkan terbaginya masyarakat Thailand menjadi dua kubu utama, yakni mereka yang pro-monarki dan masyarakat pro-demokrasi yang kebanyakan berasal dari golongan pemuda dan mahasiswa. Dalam perhelatan aksinya, terdapat sejumlah tokoh yang mengorganisir gerakan tersebut, salah satunya bernama Parit Chiwarak atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Penguin”.
Menariknya lagi, Penguin tidak memiliki tampilan sebagaimana stereotip penggambaran seorang aktivis yang karismatik. Pada realitanya, ia hanyalah seorang pemuda yang memiliki perawakan tambun dan berkacamata. Sekilas, apabila hanya melihat dari tampilannya, tidak ada yang menyangka bahwa ia merupakan salah satu dari pemimpin aksi demonstrasi mahasiswa di Thailand. Penguin sendiri diketahui telah turun ke jalan sejak umur 16 tahun. Pada awalnya, ia melakukan aksi demonstrasi untuk menyuarakan reformasi pendidikan di Thailand. Perlahan aksinya merambat menjadi protes kepada pemerintahan Thailand yang dikuasai militer.
Dalam sebuah wawancara dengan The Guardian, ia mengaku sebenarnya tidak memiliki minat besar pada politik. Namun, karena merasa situasi negaranya sedang tidak baik-baik saja, ia menyatakan tak akan berhenti melakukan aksi sampai semua tuntutannya didengar oleh pihak penguasa. Tuntutan itu sendiri berupa: Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha harus mundur dari jabatanya, kedua mereka menuntut adanya perubahan pada konstitusi dasar negara dan reformasi di dalam Kerajaan.
Raja Maha Vajiralongkorn yang merupakan pewaris takhtha dari Monarki Thailand sejauh ini belum mendapatkan tempat yang sama di hati rakyat seperti mendiang ayahnya. Hal ini tak lepas dari sejumlah tingkahnya yang kontroversial sebelum naik tahta. Sikapnya ini yang menjadi alasan mengapa banyak aksi demonstrasi untuk menuntut adanya reformasi di tubuh kerajaan karena merasa bahwa Raja yang sekarang tidak kompeten dalam memimpin.
Penguin sendiri juga sempat tertangkap kamera menggunakan baju yang menyerupai Raja dan sejumlah anggota kerajaan selama melakukan aksi demonstrasi. Aksi yang tidak biasa dari Penguin sempat menjadi bahan perbincangan masyarakat di Thailand dan bahkan di luar negeri karena keberaniannya dalam menentang Monarki. Sindiran Penguin ini sempat membuat khawatir koleganya karena ia bisa sewaktu-waktu ditangkap oleh pihak berwajib.
Dan benar saja, kritikannya itu berujung petaka. Pada bulan Februari, ia ditangkap dan ditahan karena dianggap telah melanggar pasal 112. Pasal yang bernama lese majeste ini mengatur bahwa Raja Thailand dan keluarganya dilindungi oleh undang-undang khusus. Menghina atau mengkritik mereka dapat terancam dikenai hukuman penjara maksimal 15 tahun. Penguin didakwa sekitar 20 tuntutan karena dianggap telah menghina Raja Maha Vajiralongkorn.
Terdapat sejumlah usaha dari kalangan aktivis untuk membebaskan Penguin dari tahanan. Sayangnya, Penguin tidak kunjung dibebaskan. Ia bahkan sempat membacakan tuntutan para demonstran di persidangannya untuk menarik perhatian hakim. Lagi-lagi hal itu belum cukup untuk bisa mengeluarkannya dari tahanan.
Lelah menunggu, ia pun memutuskan untuk melakukan aksi mogok makan. Aksi ini telah membuat tubuhnya semakin kurus dan lemah hingga mengalami sejumlah gangguan pencernaan. Setelah beberapa minggu melakukan aksi ini, Penguin terpaksa diberikan cairan infus. Walaupun begitu, usaha mogok makan ini tidak ditanggapi oleh pemerintah. Menurut laporan terakhir, kondisinya belum menunjukkan tanda-tanda akan membaik.
Aksi solidaritas untuk mendukung Penguin dari luar tahanan pun dilakukan oleh para simpatisan nya. Mereka ramai-ramai membuat karikatur dan lukisan yang mendukung Penguin untuk segera dibebaskan. Hingga tulisan ini dibuat, sudah ada ribuan karya yang disebarkan melalui Twitter dan Instagram yang mengatasnamakan dukungan dari masyarakat terhadap aktivis berkacamata tersebut. Aksi ini juga diikuti dengan tumbuhnya rasa kepedulian dari berbagai golongan masyarakat yang pada akhirnya menjadi simpatik kepada perjuangan para demonstran.
Tidak ada yang tahu sampai kapan aksi demonstrasi masyarakat Thailand akan berlangsung. Namun, kisah Penguin memberikan sebuah pesan bahwa suatu aksi heroik yang mungkin dipandang “aneh” bagi sebagian orang dapat menjadi energi baru bagi mereka yang ingin menyuarakan suaranya. Keberaniannya dalam menuntut hak dan mengutarakan pendapat dapat dijadikan sebuah contoh ketika suara telah dibungkam dan kritik dianggap sebagai hal yang tabu. Melalui keberaniannya pula, Penguin mematahkan stigma bahwa aktivis identik dengan tampang yang memikat dan suara lantang untuk menarik perhatian massa.