Sudah lebih dari satu tahun berlangsung, konflik dalam negeri di Tigray, Ethiopia telah menjadi krisis kemanusiaan yang menewaskan lebih dari 50,000 jiwa warga sipil dan personil militer. Konflik ini dimulai semenjak Perdana Menteri Abiy Ahmed memerintahkan serangan militer pada 4 November 2020 sebagai bentuk balasan dari serangan Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF) pada pangkalan militer federal. Tidak hanya korban meninggal dunia, menurut laporan dari OHCHR, puluhan orang Tigray ditahan oleh pemerintah Ethiopia di sebuah tempat rahasia dan ratusan orang ditangkap kemudian dianiaya di ruang publik. Eskalasi konflik ini juga telah membuat 400.000 orang di kawasan Tigray kelaparan, dan 1 dari 5 anak di Tigray mengalami malnutrisi akut. Sampai pada hari Selasa (2/11), konflik dikabarkan masih terus berlanjut yang ditandai dengan kedudukan TPLF di wilayah Amhara, sekitar 400 km dari Ibukota Addis Ababa.
Melihat krisis kemanusiaan yang terjadi, Ethiopia kini telah mencuri banyak perhatian negara-negara di dunia, salah satunya adalah Amerika Serikat. Dalam konferensi pers yang diadakan pada hari Rabu (17/11) di Nairobi, Antony Blinken, Menteri Luar Negeri AS mengatakan bahwa negaranya turut prihatin atas konflik yang terjadi di Ethiopia. Blinken juga menyebutkan bahwa secara internasional, ada berbagai tantangan yang menyebabkan resesi demokrasi dan Ethiopia kini sedang menghadapinya, sehingga perlu dibantu dengan upaya-upaya diplomatik yang bertujuan untuk mempertahankan demokrasi.
Dalam kesempatan yang sama, Blinken juga turut mengangkat pembicaraan mengenai konflik yang sedang terjadi di Ethiopia pada hari Rabu (17/11) di State House, Nairobi, Kenya dalam dialognya dengan Presiden Uhuru Kenyatta. Blinken menyampaikan pujian untuk Kenya sebagai salah satu negara demokrasi yang telah membantu Ethiopia dalam meredakan konflik. Dari dialog tersebut, Kenya dan AS juga menyimpulkan bahwa perlu ada upaya gencatan senjata di Ethiopia dan dialog yang inklusif antara pemerintah Ethiopia dengan TPLF untuk menemukan sebuah resolusi.
Kedatangan dan keterlibatan AS di Afrika merupakan bagian dari komitmen pemerintahan Biden untuk menghidupkan kembali hubungan AS di kawasan Afrika. Blinken menyatakan bahwa ke depannya, AS akan mulai aktif kembali dalam menyalurkan bantuan ke Afrika berhubungan dengan penyelesaian pandemi COVID-19 dan resesi demokrasi yang terjadi. Itikad tersebut dipertegas dengan pernyataan Ervin Massinga, Diplomat AS untuk Afrika dalam telekonferensi yang diadakan di Gedung Putih perihal kunjungan Blinken ke Afrika. Ervin juga menyatakan bahwa AS ingin membangun kerja sama dengan tujuan peningkatan demokrasi dan kooperasi yang berlandaskan hubungan antar manusia dan juga memperkuat komitmen AS kepada demokrasi dan Hak Asasi Manusia.
Namun, seiring dengan kekhawatirannya terhadap konflik dan krisis kemanusiaan di Ethiopia, AS melalui Presiden Joe Biden mengatakan akan memberikan sanksi ekonomi dan mengeluarkan Ethiopia dari program African Growth and Opportunity Act (AGOA) pada 1 Januari 2022 mendatang jika tidak bisa memenuhi syarat program tersebut. Biden mengatakan bahwa jika Ethiopia terus melanggar hak asasi manusia, mereka tidak lagi memenuhi syarat untuk turut serta dalam AGOA dan akan kehilangan seluruh keistimewaan untuk mengekspor produknya ke AS tanpa tarif dan pembatasan dagang. Walaupun begitu, perwakilan perdagangan AS, Katherine Tai, menyatakan bahwa AS akan memberikan tolok ukur yang jelas dan tetap membantu dalam hal pemulihan serta administrasi untuk mengambil alih demokrasi yang sempat hilang.