Not all heroes wear capes—terlepas dari dunia fiksi yang dipenuhi dengan bermacam-ragam jajaran superheroes, aksi heroik dalam keseharian yang dilakukan oleh masyarakat biasa juga bukanlah suatu anomali yang sulit ditemukan. Dengan tak terduga, seringkali seseorang melakukan tindakan yang menjadikan dirinya sosok pahlawan bagi masyarakat.
Aksi-aksi heroik ini dapat ditemukan dimana saja. Sebagai contoh, pada tahun 2019 lalu, seorang pria di Tulungagung terjun ke sungai dan berhasil menyelamatkan seorang wanita yang mencoba untuk bunuh diri. Lalu, terdapat aksi yang tak kalah heroik yang dikenal sebagai “Malian Spiderman” di mana seorang pria memanjat 4 lantai dalam waktu kurang dari 30 detik untuk menyelamatkan balita yang hampir terjatuh dari balkon. Kemudian, seorang kakek dari Kanada yang pada saat itu berusia 69 tahun bahkan pernah menyelamatkan tetangganya yang sedang diserang oleh beruang dengan memukul beruang tersebut menggunakan sekop. Walaupun berbeda antara satu dengan yang lain, tindakan-tindakan heroik ini memiliki pola yang serupa, yakni bagaimana orang biasa dapat memutuskan untuk mengambil resiko besar demi menyelamatkan hidup orang lain, bahkan disaat yang bersamaan keputusan tersebut turut membahayakan dirinya sendiri.
Keberanian tersebut erat kaitannya dengan sifat altruisme—yaitu impuls untuk membantu orang lain meskipun tindakan tersebut merugikan dirinya sendiri. Kerap dianggap sebagai sifat yang selfless, altruisme memiliki karakteristik seperti mengutamakan orang lain, mempertimbangkan efek dari tindakannya terhadap orang lain, dan perasaan senang setelah memberikan bantuan kepada orang lain. Melihat dari aksi-aksi heroik yang seringkali memposisikan para pahlawan ini dalam bahaya bagi dirinya sendiri, maka tindakan yang mereka lakukan dapat dengan mudah dikategorikan sebagai aksi naluri altruisme.
Akan tetapi, dasar dari sifat altruisme sendiri masih menimbulkan sebuah pertanyaan—apakah altruisme dapat benar-benar sepenuhnya selfless dilakukan tanpa maksud kepentingan pribadi? Dengan salah satu karakteristiknya yang merupakan rasa senang, hal ini menunjukkan bahwa sampai taraf tertentu, tindakan altruistik disertai dengan kepentingan pribadi, yakni untuk merasa puas dengan diri sendiri.
Dilema tersebut diangkat oleh Neel Burton, seorang filsuf dan psikiater dari Inggris, yang mengemukakan bahwa tindakan altruistik merupakan upaya yang bersifat self-interested, seperti dari kepentingannya untuk meredakan kecemasan, menciptakan perasaan bangga atau kepuasan, harapan akan kehormatan atau balasan, dan berbagai motif self-serving lainnya. Bahkan, fenomena ini juga dapat dijelaskan secara saintifik dan telah dinamakan sebagai “Helper’s High”; kondisi ketika tubuh manusia melepaskan endorfin setelah bertindak altruistik atau baik. Walaupun tidak dapat dikatakan sepenuhnya tulus, hal inilah yang mendorong manusia untuk terus berkeinginan membantu orang lain.
Bahkan, terdapat pula versi ekstrim dari tindakan self-serving yang dibalut dengan kedok altruisme ini, yakni fenomena hero complex. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Laura Berman Fortgang, fenomena ini merupakan tindakan yang dilakukan oleh seseorang untuk mencari pengakuan kepahlawanan, dan seringkali disertai dengan upaya untuk menciptakan situasi sulit yang dapat mereka selesaikan demi memperoleh sebuah penghargaan. Sedangkan, yang dimaksud dari “complex” sendiri adalah pemikiran menyimpang yang sudah sangat tertanam dalam batin sampai-sampai tidak disadari oleh diri seseorang. Menurut studi Fortgang, fenomena ini paling sering ditemukan dalam pekerja sipil, sebagai contoh, pemadam kebakaran yang melakukan pembakaran dengan sengaja demi menjadi penyelamat dari situasi tersebut.
Terlepas dari versi ekstrimnya, kemungkinan terdapatnya sebuah motif self-serving terselubung di balik keberanian para sosok pahlawan tentu tidak dapat dibantah. Ketulusan di balik tindakan “selfless” ini memang menjadi dilema yang pantas dipertanyakan. Namun, terlebih, apakah penting untuk semua tindakan dilakukan dengan benar-benar tulus apabila hasil akhirnya tetaplah tindakan heroik yang bermanfaat bagi masyarakat? Di dunia yang kekurangan empati, mungkin self-serving dan sifat-sifat altruisme lainnya dapat menjadi solusi.