
Situasi di tiga kota Myanmar yakni Yangon, Dawey, dan Mandalay pada hari Senin (01/03) semakin mencekam setelah aparat keamanan setempat melepaskan tembakan senjata ke arah demonstran dalam aksi protes damai Civil Disobedience Movement (CDM) yang menyebabkan 18 orang meninggal. Tragedi ini tidak terlepas dari meletusnya kudeta yang terjadi di Myanmar sejak tanggal 1 Februari 2021 oleh sebagian perwira tinggi angkatan militer Myanmar (Tatmadaw) yang dipimpin Jenderal Min Aung Hlaing terhadap pemerintah sipil di bawah State Counsellor Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint.
Krisis akibat dari kudeta militer di Myanmar ini juga meningkatkan tekanan politik terhadap ASEAN sebagai komunitas negara-negara di kawasan Asia Tenggara untuk dapat menyelesaikan konflik secepat mungkin. Secretary of State Amerika Serikat, Antony Blinken, menyatakan dukungan pemerintahannya terhadap rakyat Myanmar yang meminta restorasi pemerintahan sipil terpilih dengan mengambil tindakan tegas dalam bentuk sanksi ekonomi khususnya dalam bidang militer. Sedangkan Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, mengutuk keras penggunaan senjata yang mematikan terhadap aksi protes di Myanmar, ia pun meminta semua pihak untuk menghormati hasil pemilu November 2020 yang memenangkan partai Aung San Suu Kyi yakni National League for Democracy (NLD). Lain halnya dengan Tiongkok dan Rusia yang memblokir pembicaraan mengenai situasi Myanmar dalam sesi UNHCR dengan merujuk isu tersebut sebagai permasalahan internal.
Beragamnya respon masyarakat internasional terkait krisis politik Myanmar membuat peranan Indonesia dan ASEAN untuk membantu resolusi konflik tersebut kerap dipertanyakan. Menlu RI Retno Marsudi menegaskan bahwa Indonesia bersama ASEAN mengedepankan aspek konsensus kekeluargaan dalam krisis politik Myanmar. Hal ini dibuktikan dengan kunjungan Menlu Retno selama seminggu terakhir ke beberapa negara anggota ASEAN seperti Thailand dan Brunei untuk bertemu rekan sesama menteri dalam rangka membahas masalah Myanmar. Indonesia juga ditekan langsung oleh kelompok oposisi junta militer Myanmar ketika KBRI Yangon didemo oleh kelompok oposisi junta militer yang meminta Indonesia dan ASEAN melalui Menlu Retno untuk sama sekali tidak menemui tokoh-tokoh junta militer dan meminta Indonesia dan ASEAN untuk menghormati hasil pemilu terakhir. Pendemo juga meminta Indonesia-ASEAN untuk tidak bertemu dengan junta militer. Sebaliknya mereka meminta untuk pihak luar untuk bertemu dengan Htin Lin Aung, representasi dari Committee Representing Pyidaungsu Hluttaw (CRPH) yang mewakili suara oposisi.
Rangkaian peristiwa ini menguji eksistensi ASEAN sebagai komunitas politik. Indonesia sebagai pendiri sekaligus negara terbesar dalam blok ASEAN tidak dapat melakukan tindakan konkrit seperti menjatuhkan sanksi terhadap Myanmar karena ASEAN menganut sistem konsensus dan prinsip non-intervensi yang mengharuskan adanya persetujuan dari semua negara anggota dalam melakukan keputusan. Meski begitu, Aung Zaw, seorang jurnalis asal Myanmar pada tulisannya di dalam situs berita The Irrawaddy mengatakan bahwa sejarah kedekatan antara Indonesia-Myanmar khususnya dalam hubungan militer dapat menjadi kelebihan tersendiri bagi kedua negara untuk dapat mencapai titik temu. Hal ini dapat dilihat dalam krisis politik Myanmar sebelumnya, Indonesia ketika masih di bawah pemerintahan Presiden SBY berhasil mencapai kompromi dalam melancarkan proses demokratisasi dengan Jenderal Than Shwe pada tahun 2007. Letjen TNI (Purn.) Agus Widjojo pada 2007 diutus SBY ke Myanmar untuk mendorong adanya restrukturisasi peran politik militer Myanmar untuk membuka jalannya demokratisasi di negara tersebut. Namun, seiring dengan perubahan zaman, resolusi konflik dengan pendekatan militer mulai berkurang dan tergantikan oleh pendekatan diplomatik khususnya di era Menlu Retno. Meski begitu, kedua pendekatan dalam resolusi konflik tersebut menjadi menarik untuk diperhatikan dan melihat bagaimana langkah Indonesia bersama ASEAN dalam menyelesaikan krisis politik Myanmar ke depannya. (KA)
Sumber: Reuters, Aljazeera, The Irrawaddy, CNN Indonesia