Hari raya merupakan surganya makanan lezat dan kue-kue tradisional yang selalu dirindukan. Dalam kebudayaan Palembang, kue maksuba atau kue delapan jam menjadi hidangan andalan pada hari raya keagamaan dan pesta pernikahan. Bayangkan, bertamu ke rumah saudara dengan jajaran kue maksuba berwarna kuning keemasan yang tertata rapi di atas meja. Seketika aroma mentega yang wangi dan lezat pun memenuhi ruangan. Apalagi ketika disantap, tiap-tiap lapisannya terasa manis gurih dan begitu legit di dalam mulut. Hmm… lemakkk niannn (lemak berarti enak dalam Bahasa Palembang).
Konon, kue ini sudah ada sejak zaman Kesultanan Palembang Darussalam yang disajikan dalam tradisi Rumpak-Rumpak atau yang dikenal dengan tradisi Sanjo. Tradisi tersebut merupakan kegiatan silaturahmi secara beramai-ramai baik ke rumah tetangga maupun ke rumah keluarga pada hari Lebaran. Uniknya, tradisi ini sengaja dilakukan untuk mengingatkan masyarakat bahwa silaturahmi antar manusia tidak boleh putus. Sebagai bentuk penghormatan kepada tamu-tamu yang berkunjung, kue maksuba pun disajikan oleh pemilik rumah.
Sama seperti namanya, proses pembuatan kue khas Palembang ini membutuhkan waktu yang cukup lama, yaitu delapan jam. Menurut Raden Muhammad Ali Hanafiah, seorang budayawan Palembang, penamaan waktu delapan jam diambil dari jumlah waktu dalam satu hari, yaitu 24 jam, yang dibagi ke dalam tiga bagian. Dalam satu hari, idealnya, manusia membagi waktunya menjadi delapan jam untuk bekerja, delapan jam untuk beristirahat, dan delapan jam untuk beribadah. Ini merupakan filosofi keseimbangan kehidupan; ketika manusia bekerja, ia tidak lupa untuk beristirahat setelahnya dan tidak lupa pula untuk beribadah. Ibadah sudah sepatutnya dilakukan karena merepresentasikan rasa syukur kepada Sang Pencipta atas nikmatnya kehidupan yang telah diberikan kepada manusia.
Tidak disangka-sangka, bukan? Kue tradisional yang tampak sederhana ternyata menyimpan filosofi yang begitu mendalam. Tidak berhenti di situ saja, pembelajaran lain yang dapat dipetik adalah ketelitian dan kesabaran dalam hidup. Bentuk kue maksuba yang berlapis-lapis diperoleh dari kesabaran sang pembuat ketika memanggang kue ini secara berlapis, satu demi satu hingga loyang dipenuhi oleh adonan. Tidak terbayangkan betapa besar perjuangan dan kesabaran orang zaman dahulu yang hanya bermodalkan kayu bakar dan panci tanah liat. Belum lagi jika kue tidak matang atau hangus, sungguh proses melatih kesabaran dan ketelitian yang begitu luar biasa. Tidak heran, kue ini kemudian sering kali dijadikan tolok ukur bagi perempuan di budaya Palembang, apabila sudah pantas dipersunting dan dijadikan sebagai seorang istri. Ketika kedua mempelai telah berumah tangga, kue maksuba pun melambangkan rasa cinta dan penghormatan diantara keduanya.
Dari sebuah kue, apakah kini hasrat untuk mengenal lebih dekat budaya Indonesia semakin bergejolak? Budaya merupakan cara hidup yang diwariskan dari generasi ke generasi dan menjadi ciri atas suatu kelompok. Marcus Garvey pernah mengatakan, layaknya pohon tanpa akar, begitulah orang-orang yang tidak mengetahui sejarah, asal usul, dan budaya masa lalunya. Budaya akan terus melekat di setiap potongan peradaban manusia, maka sudah sepantasnya dilestarikan dan diajarkan secara turun temurun, terutama kepada generasi muda Indonesia. Tidak perlu serta-merta mempelajari budaya nusantara sekaligus. Terkadang, segala sesuatu yang baik dilakukan secara perlahan, satu demi satu. KawanWH, mendalami budaya sendiri dapat dimulai dari langkah-langkah kecil, seperti melalui kue maksuba karena setiap langkah kecil yang kita ambil itu bermakna adanya. (VO)