
Sumber : Amarjeet Kumar Singh/Anadolu Agency
Pengadilan Tinggi India secara resmi menegakkan larangan penggunaan hijab di Negara Bagian Karnataka pada Selasa (15/3). Berdasarkan putusan tersebut, siswa perempuan dilarang untuk menggunakan hijab di dalam institusi pendidikan, khususnya di dalam ruangan kelas. Dalam sidang yang dilaksanakan pada hari yang sama, Ketua Hakim Ritu Raj Awasthi mengatakan bahwa hijab bukanlah bagian dari praktik keagamaan yang penting. Selain itu, Awasthi juga mengatakan bahwa sudah menjadi kewajiban siswa untuk mematuhi aturan seragam sekolah yang sah secara konstitusional. Putusan pengadilan ini bukanlah putusan yang tiba-tiba melainkan tanggapan atas protes yang telah terjadi selama dua bulan terakhir.
Pada awal Januari, enam orang siswa Pra-Universitas (PU) di Udupi mengaku tidak diizinkan untuk masuk ke ruangan kelas selama beberapa minggu karena mengenakan hijab. Hal tersebut kemudian membuat mereka melakukan protes kepada pihak sekolah. Sayangnya, protes tersebut tidak didengarkan dan dibantah oleh pihak sekolah. “Kami mengizinkan mereka mengenakan hijab di area sekolah, tapi mereka harus melepaskan (hijab) saat kelas sudah dimulai,” ujar Rudre Gowda, Kepala Sekolah PU Udupi, dalam wawancaranya dengan BBC pada Sabtu (22/1) lalu.
Tanggapan Gowda ini memicu kemarahan para siswa dan komunitas muslim di India. Mereka pun mengadakan protes besar-besaran di berbagai kota seperti Kota Bengaluru, Delhi, Hyderabad, dan Kolkata. Bahkan, para siswa mengirimkan petisi kepada pemerintah terkait pelanggaran ini. Menanggapi situasi tersebut, pemerintah Karnataka ikut membuka suara. Dilansir dari The Indian Express, Departemen Pendidikan Pra-Universitas Karnataka mengatakan bahwa larangan penggunaan hijab di dalam kelas tidak melanggar hak untuk mempraktikkan agama mereka.
Tanggapan Masyarakat India dan Dunia Internasional
Keputusan pemerintah dan pengadilan Karnataka terkait larangan hijab ini menimbulkan berbagai tanggapan dari masyarakat India. Dilansir dari Al Jazeera, Syed Sarfraz, perwakilan dari Front Campus India, mengatakan bahwa putusan pengadilan itu tidak konstitusional. “Kami sangat terkejut dengan putusan pengadilan yang mengatakan bahwa hijab bukanlah praktik Islam yang penting. Itu bukan hak mereka untuk menentukan. Hijab memiliki mandat yang jelas dalam Quran,” ujarnya kepada Al Jazeera pada Selasa (15/3).
Politisi India dan Ketua Partai All India Majlis-e-Ittehadul Muslimeen, Asaduddin Owaisi, juga ikut menyuarakan ketidaksetujuannya terkait putusan ini. Melalui Twitter resminya, Owaisi berpendapat bahwa putusan pengadilan sangat tidak masuk akal dan melanggar hak para siswa untuk beribadah dan mengekspresikan keyakinannya. Owaisi juga berpendapat bahwa putusan ini bertentangan dengan aturan pemerintah terkait diskriminasi berdasarkan agama. “Terakhir, ini artinya satu agama telah menjadi sasaran dan praktik keagamaannya telah dilarang. Pasal 15 melarang adanya diskriminasi berdasarkan agama. Apakah ini bukan pelanggaran yang sama? Singkatnya putusan pengadilan telah memaksa anak-anak untuk memilih antara pendidikan dan perintah Allah,” tulisnya dalam postingan Twitter tersebut.
Tidak hanya masyarakat India, masyarakat internasional juga ikut menyuarakan pendapatnya. Melalui Twitter pribadinya, Pemenang Penghargaan Nobel, Malala Yousafzai, meminta para pemimpin India untuk menghentikan marginalisasi terhadap perempuan Muslim. Sementara itu, Duta Besar Amerika Serikat untuk Kebebasan Beragama Internasional, Rashad Hussain, juga mengkritik larangan hijab tersebut. Melalui Twitter resminya, Hussain mengatakan bahwa larangan hijab di sekolah tidak hanya melanggar kebebasan beragama, tetapi juga menstigmatisasi dan meminggirkan para perempuan.
Meskipun putusan telah ditetapkan, para siswa berjanji untuk tidak akan berhenti memperjuangkan hak mereka. “Apa yang kita pakai harus menjadi keputusan kita. Mereka (pemerintah) tidak dapat memutuskan apa yang harus kita pakai atau tidak pakai,” ujar salah satu siswa, Aysha Nourin, dalam wawancaranya dengan Al Jazeera. (ZN)