Leading Ladies

Kata ‘pemimpin’ biasanya tidak termasuk dalam ratusan stereotipe seorang perempuan. Buktinya, jumlah perempuan pemimpin negara di dunia masih kurang dari 7 persen. Ini mencerminkan masih adanya keraguan untuk memilih perempuan sebagai pemimpin. Namun ternyata, di masa rentan seperti sekarang, sifat feminin yang dianggap identik dengan sebuah kelemahan justru menunjukkan keunggulannya dalam menanggulangi pandemi.

Selandia Baru, Jerman, Islandia, dan Taiwan merupakan beberapa negara yang memiliki performa terbaik. Uniknya, keempat negara tersebut memiliki kesamaan, yaitu dipimpin oleh seorang perempuan. Dalam menangani pandemi ini, Jacinda Ardern, Perdana Menteri Selandia Baru memunculkan sikap empati dengan pesan yang menenangkan kepada masyarakatnya. Jerman merupakan negara yang memiliki tingkat positif Covid-19 yang cukup tinggi, namun Angela Merkel sebagai Kanselir Jerman tetap diapresiasi karena berhasil menangani pandemi ini dengan mengandalkan sains dan jujur kepada masyarakatnya, sehingga jumlah kematian di Jerman juga lebih sedikit dibanding negara-negara tetangganya.

Di kala krisis yang genting ini, para perempuan pemimpin negara justru semakin menonjolkan atribut feminin mereka, seperti rasa empati, peduli, dan meninggikan kemanusiaan. Tentunya atribut tersebut ditambah dengan fakta sains yang ada sebagai dasar pembuatan kebijakan, serta kejujuran sebagai dasar kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Namun, dengan bukti konkret keberhasilan pemimpin perempuan yang menggunakan sifat feminin, karakteristik ini tentu dapat dicontoh oleh pemimpin negara lainnya.

Karena, bukan berarti pemimpin laki-laki tidak boleh memiliki cara kepemimpinan yang feminin, kan?