Seks merupakan topik pembicaraan yang seringkali dianggap tabu oleh masyarakat. Seks dilihat hanya terbatas pada mekanisme perkembangbiakkan manusia, walaupun sebenarnya seks merupakan suatu hal yang kompleks. Pandangan sempit itulah yang tertanam di masyarakat dan membuat apapun yang mengandung unsur seksual, baik itu percakapan, ekspresi seni seperti film, musik, dan lukisan, dipandang negatif.
Terlebih lagi, di era digital ketika informasi dan hiburan dalam bentuk hanya sejauh jangkauan jari, anak-anak menjadi lebih terekspos terhadap konten yang mengandung unsur seksual sejak usia dini. Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan dan rasa ingin tahu dalam diri mereka. Ketika bertanya kepada orang tuanya, karena persepsi ‘tabu,’ topik pembicaraan ini cenderung dihindari sehingga mereka pun tidak mendapatkan kejelasan lebih lanjut. Namun, apa yang dimaksud dengan ‘tabu’ dan mengapa hal-hal terkait seks dianggap tabu?
Tabu adalah sebuah istilah yang berasal dari Bahasa Polinesia yang berarti ‘sesuatu yang dilarang karena dianggap sakral, terkutuk, atau berbahaya. Pada umumnya, suatu hal disebut tabu jika dapat menimbulkan masalah bagi pelakunya: baik itu kesialan maupun kematian.’ Dalam beberapa ajaran agama, seks dianggap sebagai sesuatu yang sakral; sedangkan dari sisi sosial, seks adalah hal privat dari orang dewasa yang tidak sopan untuk dibicarakan.
Antropolog Ernest Becker berpendapat bahwa seks dipandang sebagai sebuah masalah karena memicu ingatan manusia tentang sifat dasarnya yang hewani. Perilaku fisik manusia yang tercermin dalam seks dianggap mengancam kepercayaan yang dipegang teguh untuk menghadapi ketakutannya terhadap kematian. Terlebih lagi, terdapat penelitian yang membuktikan bahwa ketika seseorang memikirkan aspek fisik dari seks, mereka memiliki tendensi untuk menghubungkannya dengan kematian. Bagaimanapun juga, terdapat pengecualian untuk seks dengan konteks hubungan romantis atau penuh cinta, yang disebut tidak memiliki efek samping yang meningkatkan ketakutan akan kematian. Sigmund Freud menganggap sesuatu menjadi tabu karena dianggap sulit diatur dan menjadi perilaku sosial yang ambigu, sehingga mencerminkan tindakan terlarang yang sebenarnya ada di alam bawah sadar.
Persepsi ini, ditambah dengan ketakutan akan efek samping negatif, baik dari aspek kesehatan biologis maupun dalam kehidupan sosial, membuat masyarakat mengartikan ‘seks’ dengan konteks yang sangat sempit. Pembicaraan tentang seks pun akhirnya cenderung dihindari terutama oleh orangtua kepada anaknya, dan seks menjadi sesuatu yang dikonotasikan negatif. Pendidikan seksual atau sexual education yang diberikan di sekolah pada jenjang pendidikan tertentu pun jadi terbatas dan tidak terbuka, sehingga anak-anak dan remaja beralih ke sumber yang lebih tidak terarah untuk mengatasi rasa keingintahuannya.
Pendidikan seksual seharusnya mencakup pengetahuan tentang sistem reproduksi manusia, perilaku seksual, dan kontrasepsi, mengungkap mitos-mitos yang beredar di masyarakat, dan seksualitas. Namun kenyataannya, hal-hal tersebut jarang sekali tercakup dalam pendidikan seksual. Informasi yang diberikan dalam pendidikan seksual seringkali terlalu luas konteksnya dan tidak terarah dengan baik sehingga memudahkan terjadinya misinterpretasi.
Misinterpretasi informasi dalam pendidikan seksual ini dapat menimbulkan berbagai masalah yang mengancam anak-anak dan remaja. Masalah seperti kekerasan seksual atau konten asusila di bawah umur pun semakin marak terjadi karena kurangnya informasi tentang perilaku seksual tertentu. Di samping itu, risiko penularan penyakit seksual seperti HIV/AIDS dan praktik aborsi yang tidak aman pun dapat meningkat. Hal ini sering disebabkan oleh informasi mengenai kegiatan seks yang aman, atau safe sex, yang dibatasi karena dianggap akan “memancing” atau memicu anak-anak dan remaja untuk mencoba-coba hubungan seks di luar nikah.
Adanya pendidikan seksual baik dari keluarga maupun institusi pendidikan yang memadai dan tepat sasaran sangat dibutuhkan, terutama untuk anak-anak dan remaja. Pendidikan seksual seharusnya dapat memberikan gambaran yang jelas kepada anak-anak dan remaja mengenai seks dan perilaku seks yang aman. Pengetahuan ini akan membuat mereka lebih berhati-hati dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Selain itu, rasa ingin tahu anak-anak dan remaja akan terjawab dengan informasi yang terarah dan tepat serta tidak menimbulkan misinterpretasi lebih lanjut.
“Adanya pendidikan seksual baik dari keluarga maupun institusi pendidikan yang memadai dan tepat sasaran sangat dibutuhkan, terutama untuk anak-anak dan remaja. Pendidikan seksual seharusnya dapat memberikan gambaran yang jelas kepada anak-anak dan remaja mengenai seks dan perilaku seks yang aman.”