“Kita (Indonesia) ini sensitif terhadap perubahan nilai tukar. (Maka) Kita ingin mengurangi sensitivitas tersebut dengan membuat pasar valas domestik lebih seimbang. Jadi, bagaimana membuat transaksi perdagangan kita ini menggunakan mata uang yang memang relevan dengan mitra kita?,” ucap Kepala Departemen Internasional Bank Indonesia (BI) Doddy Zulverdi kepada Beritasatu.
Kabar baru dari dunia keuangan, BI resmi menjalin kerja sama mata uang yang disebut dengan Penyelesaian Transaksi Bilateral Menggunakan Mata Uang Lokal atau Local Currency Settlement (LCS) bersama People’s Bank of China (PBC) pada Senin (6/9). LCS dengan Tiongkok ini bukanlah kebijakan yang sepenuhnya baru dikarenakan sebelumnya BI telah memiliki kesepakatan LCS dengan Malaysia, Thailand, dan Jepang. Lalu, apa yang dimaksud dengan LCS?
Menurut siaran pers BI, LCS merupakan rangkaian kerja sama yang memperbolehkan kedua negara untuk bertransaksi menggunakan mata uangnya sendiri-sendiri tanpa mata uang ketiga seperti dolar AS. Hal ini dapat dicapai dengan melakukan kuotasi dan relaksasi regulasi transaksi valuta asing antara mata uang Rupiah dan Yuan. Nantinya, implementasi LCS akan dibantu oleh bank-bank umum di kedua negara yang ditunjuk sebagai Accredited Cross Currency Dealer (ACCD). Mereka merupakan bank yang dianggap mumpuni untuk memfasilitasi transaksi Rupiah-Yuan. Terdapat 12 Bank ACCD di Indonesia termasuk Bank Himbara seperti Bank Mandiri, BRI, dan BNI, serta delapan Bank ACCD di Tiongkok seperti Bank of China, CCB, dan ICBC. Nantinya masyarakat Indonesia yang rutin bertransaksi dengan Tiongkok dapat membuka rekening lokal di bank ACCD terkait. Tujuan dari BI dalam kebijakan LCS ini adalah mendorong penggunaan mata uang lokal dalam transaksi bisnis di mancanegara. Dengan menandatangani LCS bersama Tiongkok ini BI berharap akan terwujudnya efisiensi konversi mata uang sekaligus menciptakan mekanisme perlindungan rupiah sebagai mata uang lokal.
LCS Rupiah-Yuan sendiri bukan terjadi tanpa sebab, melainkan karena keperluan ekonomi kedua negara yang terus meningkat setiap tahunnya. Dilansir dari Antara, Tiongkok menempati urutan ketiga investor asing di Indonesia dengan total nilai realisasi sebesar 1,7 miliar dolar AS. Dari segi perdagangan pun ekspor Indonesia ke Tiongkok meningkat pada periode Januari-Juni 2021 sebesar 51,4% atau Rp. 379 triliun dari tahun sebelumnya. Sedangkan untuk impor Indonesia dari Tiongkok juga meningkat Rp. 389 triliun. Sebagaimana negara lain bertransaksi selama ini, Indonesia sering bertransaksi menggunakan dolar AS karena ia merupakan mata uang global di bawah sistem Bretton Woods. Sebagai akibatnya, terdapat ketergantungan terhadap mata uang dolar AS yang Indonesia coba turunkan lewat kebijakan LCS tersebut.
Mengutip dari Reuters, Direktur Pengembangan Pasar Keuangan BI Rahmatullah Sjamsuddin menyatakan bahwa kumpulan LCS ini dapat mengurangi permintaan dolar AS di Indonesia sebanyak US$ 2 juta di tahun 2021. BI berharap masyarakat umum dapat memanfaatkan adanya LCS ini secara optimal. Meskipun begitu, dilansir dari Pikiran Rakyat, Direktur Eksekutif Next Policy Fithra Faisal mengatakan bahwa risiko volatilitas rupiah tetap ada dalam jangka menengah dan panjang mengingat Tiongkok masih bergelut menjaga stabilitas mata uang. Namun, Fithra melihat dengan meningkatnya neraca perdagangan Indonesia-Tiongkok, LCS tetap akan mendatangkan manfaat yang lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan apabila implementasinya berhasil.