Lupakan Antariksa, Bumi Belum Sepenuhnya Usai

Satelit Voyager yang diluncurkan NASA pada 5 September 1977.
Sumber : Google

Pada tahun 1977, Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat atau NASA meluncurkan sebuah wahana luar angkasa berbentuk satelit bernama Voyager. Tak hanya itu, di dalamnya juga disertakan sebuah piringan emas yang dikenal dengan nama Voyager Golden Record. Isi dari piringan emas ini sendiri berupa penjelasan terkait planet Bumi, seperti foto-foto makhluk hidup, suara binatang, hingga pengetahuan singkat tentang spesies bernama manusia.

Salah satu yang melatarbelakangi NASA hingga mengirimkan piringan emas ini ke luar angkasa adalah keingintahuan. Luar angkasa, yang merupakan batas akhir dari penjelajahan, seolah sedang menunggu untuk dijelajahi. Hal ini diikuti juga dengan adanya sejumlah penemuan baru di bidang sains dan teknologi.

Selain wahana luar angkasa Voyager, ilmu pengetahuan sejauh ini sudah memberikan beberapa teknologi lain seperti Teleskop Luar Angkasa Hubble dan Teleskop Arecibo untuk mencari kehidupan di luar Bumi. Sampai saat ini, kedua teleskop ini belum pernah menemukan bukti bahwa terdapat kehidupan cerdas di luar Bumi. Setidaknya sampai ada yang menjawab pesan dari kita, belum ada yang berhasil untuk menguak rasa kesepian manusia.

Sebuah lagu mungkin dapat menjelaskan apa arti kesepian itu. Pada piringan emas ini, terdapat satu lagu berjudul “Dark Was the Night, Cold Was the Ground” yang merupakan buah karya dari penyanyi berkebangsaan Amerika Serikat bernama Blind Willie Johnson. Lagu itu secara tidak langsung menggambarkan kondisi kehidupan Willie Johnson yang selalu merasa kesepian hingga akhir hayat. Carl Sagan, ketua dari tim seleksi untuk isi piringan ini, menjelaskan bahwa lagu itu seolah menyerupai bagaimana kehidupan di Bumi bila dibandingkan dengan luasnya luar angkasa–bagaikan sebuah kelereng kecil berwarna biru yang berada di galaksi yang tak terhingga luasnya.

Memang, apa yang membuat manusia memiliki hasrat tinggi untuk mengeksplorasi bintang-bintang? Seorang psikolog bernama Abraham Maslow dalam jurnal Psychological Science mencetuskan teori kebutuhan. Dalam pemikirannya, rasa tidak puas mendorong adanya tindakan untuk memenuhi kebutuhan. Manusia sebagai makhluk yang tidak pernah puas memotivasi dirinya untuk dapat meraih apa yang diinginkan. Pada kasus ini, manusia seolah sedang mencapai hasratnya untuk bisa menjelajahi luar angkasa, tetapi di sisi lain seolah melupakan esensi literal planetnya sendiri. Menyesuaikan dengan pendapat Maslow, rasa tidak puas manusia menyebabkan terjadinya penjelajahan ke tempat yang sebelumnya belum pernah ditelusuri.

Padahal, lautan yang menutupi nyaris 70% Bumi sendiri belum sepenuhnya dieksplorasi. Dilansir dari Kompas, sejauh ini manusia baru melakukan pemetaan sebesar seperlima dari laut di Bumi. Benua Antartika pun baru dijelajahi pada awal tahun 1911. Bahkan sampai tulisan ini dibuat, Palung Mariana yang memiliki kedalaman hingga sebelas ribu meter saja belum berhasil ditelusuri sepenuhnya.

Lantas apa yang aneh? Semua kembali pada ego besar yang sudah menjadi sifat bawaan manusia. Ketika rasa tidak tahu menimbulkan ide dan konsep baru tentang arti kehidupan. Piringan emas yang ada pada Voyager seolah merupakan “kapsul waktu yang berada dalam lautan kosmik,” pertanda bahwa terdapat spesies cerdas dari planet Bumi sedang menunggu jawaban akan kehidupan di luar planetnya. Dalam kasus ini, esensi antara manusia dan Bumi mulai memudar dikarenakan hasrat lebih besar kepada luar angkasa. Kasarnya, rumah sendiri saja belum sepenuhnya kita pahami, tetapi sudah jumawa menjelajah tempat lain.

KawanWH, pada dasarnya manusia selalu diikuti oleh rasa penasaran akan hal-hal di luar pengetahuannya. Walaupun demikian, ambisi untuk mencari tahu jawaban itu seolah terlupakan oleh esensi kita sebagai makhluk berakal di Bumi, rumah kita. Kini, dengan semakin majunya teknologi, sedikit demi sedikit semua pertanyaan hanya menunggu waktu saja untuk bisa terjawab. Piringan emas Voyager seolah menjadi personifikasi dari hasrat manusia dalam misi pencarian kehidupan di luar Bumi.

Apabila dianalogikan sebagai jati diri, manusia pada titik ini sedang berada pada kegelisahan. Menemukan kehidupan di luar Bumi sehingga menyebabkan adanya ketidakpastian dalam hubungan manusia dan planet tempatnya berpijak. Karena itu, sembari mempersiapkan diri dalam menjelajah antariksa yang tak terhingga luasnya, alangkah baiknya untuk bisa mempertahankan terlebih dahulu esensi dasar antara manusia dan planetnya. Lautan masih sangat dalam untuk diarungi, ada banyak pulau di luar jangkauan manusia untuk ditelusuri.

Menurut KawanWH, apakah semua ini dapat dikaitkan pada esensi manusia pada planetnya yang telah hilang oleh sifat dan egonya? Atau apakah ini hanyalah sekadar salah paham antara sebuah spesies dan planet tempat tinggalnya?