Semua anak dilahirkan unik. Sejak kecil, kita belajar untuk mengenal diri sendiri mulai dari penampilan fisik yang ditemukan di depan cermin. Dengan bantuan dari buku, film, ilustrasi, dan lainnya, kita mencari identitas yang membentuk kepribadian kita. Dalam proses bertumbuh dan berkembang, anak membutuhkan sosok yang dapat membangun kepercayaan diri dari dalam dunia kecilnya hingga kelak di dunia yang lebih besar lagi. Namun terkadang, yang diperlihatkan dalam media tidak menyerupai apa yang kita jumpai di depan cermin.
Tayangan media seringkali dipenuhi oleh konstruksi dan ideologi sosial yang tidak inklusif; menyebabkan representasi yang kurang tepat, kurang banyak, bahkan nihil. Di usia yang lebih belia, mungkin anak tidak memikirkan tentang hal tersebut. Seiring ia bertumbuh besar dan mulai bersosialisasi, ia akan terus melewati berbagai tahap demi mencari jati dirinya. Perasaan sedih dan self-guilt pun muncul ketika kita tidak dapat merasa relatable dengan karakter-karakter protagonis yang ada: harus selalu lemah lembut nan tangguh, berpenampilan menarik, dan secara ideal sempurna. Ekspektasi sosial yang ditimbulkan dapat menekan rasa percaya diri anak ketika ia merasa tidak dapat memenuhinya. Hal ini terlebih dirasakan ketika sosok yang menyerupai kita malah seringkali menjadi bahan lelucon, antagonis, atau bahkan menjadikan kita stereotip dalam pandangan yang negatif. Mulai dari penampilan fisik, tingkat kecerdasan emosional, penyakit dan disabilitas, orientasi seksual, atau identitas gender, dunia seakan memojokkan kita sejak kecil. Sehingga muncullah sebuah pertanyaan: dapatkah kepercayaan diri anak berkembang dengan kondisi seperti ini?
Masa kanak-kanak adalah masa yang akan membentuk identitas diri seseorang, mulai dari mekanisme untuk mengolah perasaannya, cara ia menghadapi masalah, serta cara ia menanggapi berbagai hal yang akan menjadi bagian dari hidupnya. Semua proses ini dimulai sejak seorang anak dapat berpikir untuk dirinya, dan tidak akan pernah berakhir–sebab manusia akan terus belajar.
Di Inggris, terdapat sebuah survei tahunan bernama Reflecting Realities yang diselenggarakan oleh Centre for Literature in Primary Education. Survei ini ingin melihat representasi etnis yang ada dalam literasi anak. Laporan dari survei pada tahun 2018 menyatakan bahwa apabila dalam usia perkembangan anak-anak tidak melihat refleksi dari realita mereka sendiri melalui mata dunia, atau melihat representasi serupa namun bersifat negatif, dampaknya akan cukup merugikan. Misalnya, konsep toxic masculinity pada anak laki-laki yang membenarkan norma-norma misoginistik seperti homofobia dan kekerasan. Perbaikan ketidakadilan dalam representasi bukanlah tindakan amal, melainkan suatu kewajiban yang menguntungkan bagi realita kita.
Setiap orang tua tentu ingin anaknya dapat merasa percaya diri dalam kesehariannya. Salah satu hal yang dapat dilakukan orang tua adalah dengan memberikan konten yang merefleksikan representasi yang tepat agar sang anak dapat merasa bahwa ia tidak sendirian, aneh, atau asing. Dengan membangun ekspektasi yang nyata, bermimpi tidak lagi mendiskriminasi.
“Dengan membangun ekspektasi yang nyata, bermimpi tidak lagi mendiskriminasi.”