Selama pemilihan Presiden AS di tahun 2016, saya adalah seorang siswa Sekolah Menengah Atas di Indonesia dengan sedikit minat dalam politik internasional. Seperti banyak teman-teman saya, saya aktif menggunakan media sosial. Tak perlu dikatakan saya jatuh ke dalam lubang kelinci, saya tertarik dan dalam waktu singkat—di antara dosis harian video kucing waktu itu, perbincangan politik AS mendominasi sebagian besar feeds media sosial saya.
Dari banyak berita utama di media saat itu, saya membuat sebuah kesimpulan: Trump bukanlah seorang politikus, dan ini adalah hal yang positif. Anda lihat, Hillary di mata saya sama seperti banyak politisi lain di luar sana — apa yang mereka katakan adalah omong kosong. Dengan anggukan halus dan tercakup dalam begitu banyak formalitas sehingga terkesan impersonal dan tidak jujur.
Sementara itu, Trump tampak lebih pragmatis dan mengumbar kejujuran, tanpa formalitas, tanpa filter. Dia berkomunikasi dalam bahasa yang sangat jelas dan dapat dimengerti. Memang, saya kala itu tidak begitu melek politik, apalagi politik AS. Tapi itu tidak masalah. Yang penting adalah kenyataan bahwa dia sangat lugas dalam kata-katanya, tidak ada bahasa yang sulit.
Bahkan, setelah saya mempelajari Ilmu Hubungan Internasional di bangku kuliah pun, pandangan saya tidak berubah. Saya memang lebih sadar akan politik dunia, tapi pandangan saya terhadap Trump justru lebih dikuatkan. Saya melihat Trump sebagai orang yang berorientasi pada solusi.
Saya juga memperhatikan apa yang telah Trump lakukan di Korea — pendekatannya yang lugas dan frontal terbukti efektif dalam menghadapi seorang autokrat yang sebelumnya tidak dapat dikontrol. Dia berhasil melakukan apa yang belum pernah dilakukan oleh Presiden AS sebelumnya.
Apa yang berhasil dilakukan Trump membuat saya menomorduakan berbagai cuitan Twitter dan pernyataan nyeleneh yang ia buat. Bagi saya, itu semua retorika, tidak ada salahnya.
Sampai saya menyadari bahwa itu ternyata merupakan sebuah masalah.
Jendela Overton dan Normalisasi Ekstrim
Kita sudah terbiasa hidup dengan kepala negara dan institusi pemerintahan yang memiliki akun media sosial. Media sosial mendekatkan birokrasi dengan rakyat, yang tentunya merupakan sebuah hal yang positif. Walau begitu, akun media sosial seorang figur eksekutif umumnya dipegang oleh sebuah tim yang akan memastikan seluruh kata yang dikeluarkan tetap ala politisi.
Namun, Donald Trump nampaknya memegang akunnya sendiri, tanpa filter. Satu-dua kali, kita pun akhirnya terbiasa dengan cuitannya. Pada tahun 2015, membayangkan seorang figur kepala negara adidaya mencuitkan sebuah meme yang mengolok-olok lawan politiknya mungkin aneh. Sekarang? Mungkin pandangan kita berubah drastis.
Semakin sering Anda mendengar sesuatu, semakin terbiasa Anda dengan hal itu. Ini merupakan sebuah logika sederhana dan masuk akal, yang sayangnya tidak hanya sebatas pada cuitan Twitter.
Dalam politik, hal ini dikenal sebagai Jendela Overton (the Overton Window). Ini merupakan istilah yang merujuk pada spektrum kebijakan politik yang dapat diterima oleh masyarakat umum dalam suatu waktu.
Gampangnya, titik tengah dari Jendela Overton adalah kebijakan. Dalam negara demokrasi, agar sesuatu dapat menjadi kebijakan, dibutuhkan kekuatan politik yang bergantung pada dukungan masyarakat. Semakin jauh dari titik tengah, maka berarti sebuah gagasan akan terdengar semakin ekstrim bagi khalayak umum.
Apa yang Donald Trump lakukan adalah menggeser Jendela Overton — menjadikan apa yang sebelumnya radikal dan mustahil jadi masuk akal, dan yang tak biasa jadi kebiasaan.
Kapan terakhir kali Anda mendengar (atau melihat) pernyataan dari Trump dan merasa kaget?
Tragedi Charlottesville dan Afirmasi Rasisme
Pada tahun 2017, di sebuah kota kecil di Virginia, sekumpulan kelompok sayap kanan yang percaya akan supremasi kulit putih berkumpul. Hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Amerika Serikat kontemporer. Berbagai slogan rasis, dengan ornamen yang melambangkan gerakan sayap kanan garis keras, hingga bendera Nazi pun dikibarkan di jalanan Amerika Serikat di abad ke-21.
Gerakan ini diimbangi dengan kontra-unjuk rasa dari elemen masyarakat lokal Charlottesville, dan ‘sayap kiri’. Kejadian ini kemudian mendapatkan perhatian nasional dan internasional karena berujung tewasnya satu orang ketika para white supremacist menabrakkan mobilnya ke arah kerumunan kontra-pengunjuk rasa dengan sengaja.
Bagaimana respon Trump terhadap kejadian ini? Ia memberikan pesan yang kontroversial — dengan menyalahkan kedua pihak. Dengan pesan ini, seperti diutarakan oleh banyak kritik, ia telah menaruh kelompok neo-Nazi dan supremasi kulit putih dalam tingkatan moral yang setara dengan para kontra, atau para pengunjuk rasa.
Hal ini tentu familiar dengan apa yang terjadi pada Presidential Debate 2020 kemarin. Ketika diminta untuk mengecam kelompok supremasi kulit putih, ia justru membalikkan dengan menyerang gerakan sayap kiri yang menurutnya merupakan penindak kekerasan yang utama.
Seharusnya ini bukanlah persoalan isu sayap kanan melawan sayap kiri, melainkan isu kemanusiaan dan sosial. Isu diskriminasi dan rasisme dapat menjadi pemersatu — semua orang semestinya dapat dengan sepakat bergerak bersama menjadi anti-rasis.
Neo-nazi dan white supremacist tadinya merupakan minoritas dalam diskursus politik AS, sebuah bahan olok-olok dengan pengaruh politik yang terbatas hanya pada forum internet. Namun, ambiguitas yang dibawa oleh Trump telah menciptakan afirmasi bagi orang-orang rasis, menunjukkan bahwa mereka memiliki justifikasi moral yang sama dengan manusia lainnya.
Meski dulu saya memuji Trump karena ia tidak terlihat seperti seorang politisi, justru saat ini saya melihat nilai negatif dari dirinya yang tidak bertindak layaknya seorang politisi.
Trump bukanlah pemimpin yang mampu mewakili seluruh rakyat Amerika. Seorang pemimpin seharusnya tidak memecah belah bangsanya. Seorang pemimpin seharusnya tidak memberikan afirmasi pada ekstrimis dan radikal. Bahkan, kita pun bisa menyinggung bagaimana seorang pemimpin seharusnya tidak menebar keraguan dalam penanganan pandemi.
Sejujurnya, saya rindu memiliki seorang pemimpin dari negara paling kuat di dunia yang berbicara dengan fasih dan diplomatis, yang tidak berusaha keras untuk menghina semua orang, dan yang tidak selalu menimbulkan perdebatan tanpa henti di media sosial.
Lantas, mengapa saya perlu peduli?
Amerika adalah model dunia. Apa yang terjadi di Amerika akan mengatur norma seluruh negara. Bukanlah sebuah kebetulan jika dunia saat ini mengalami gelombang populisme sayap kanan yang menguat.
Kemunculan Donald Trump telah menginspirasi berbagai figur politik di belahan bumi lain. Dari Marine Le Pen di Perancis, Jair Bolsonaro di Brazil, bahkan hingga Prabowo Subianto di pemilu kemarin, telah menggunakan retorika dan pendekatan yang mirip dengan Trump.
Pada akhirnya, bagi saya, terpilihnya kembali Trump akan berarti 4 tahun lagi diskursus politik yang memecah belah — dengan dampaknya yang tidak mengenal batas.