Aktris yang sedang naik daun, klub sepak bola hingga tokoh politik. Menyukai dan menjadi penggemar dari hal-hal tersebut merupakan sesuatu yang wajar. Menjadikan semua itu sebagai panutan dapat menjadi alasan mengapa muncul basis penggemar. Namun, perasaan suka dapat berkembang bahkan sampai ke jenjang lebih tinggi, yakni fanatisme.
George Santayana, filsuf asal Spanyol mengartikan fanatisme sebagai “melipatgandakan usaha ketika seseorang melupakan tujuannya.” Dengan kata lain, sikap ini dianggap menyebabkan tumbuhnya ekspektasi tidak realistis akan dunia sekitar karena terlalu berfokus pada apa yang diidolakan. Singkatnya, fanatik menyebabkan adanya ketidakmampuan untuk melihat dari sudut pandang orang lain.
Dua basis penggemar berikut mungkin dapat menjadi contoh. Pertama, fenomena Korean Wave yang belakangan menjadikan budaya Korea Selatan populer ke seluruh dunia memunculkan adanya sekumpulan orang yang disebut sebagai sasaeng, yang jamak ditemukan pada kehidupan masyarakat di Korea Selatan. Istilah ini memberikan penjelasan tentang sifat obsesif yang ada pada diri penggemar fanatik. Serupa namun tak sama, yang kedua adalah pendukung dari sebuah klub sepak bola militan. Lantas, mengapa stigma yang melekat pada kedua basis penggemar ini dianggap sebagai sifat fanatik berlebihan?
Pernyataan Santayana tentang fanatik mungkin dapat menjawab pertanyaan di atas. Sasaeng sebagai penggemar idola kerap terobsesi agar idola mereka memerhatikan keberadaannya. Sayangnya, sikap ini tidak diikuti dengan sikap hormat dari mereka para penggemar. Tak jarang terdapat kasus ketika keberadaan sasaeng membuat privasi sang idola terganggu. Kasus yang menimpa grup idola EXO dapat menjadi contoh. Seorang sasaeng diketahui pernah menguntit hingga ke tempat mereka tinggal di Korea Selatan. Tentu ini semakin memperkuat anggapan bahwa rasa cinta penggemar yang berlebih bukanlah sesuatu yang dibenarkan.
Selaras dengan tindakan sasaeng ini, terdapat sebuah kesamaan yang melatarbelakangi pendukung sepak bola Bonek hingga dapat dikategorikan sebagai penggemar fanatik. Asal-usul namanya yang berasal dari kata “bondo (modal) nekat,” dapat menjadi gambaran bagaimana salah satu basis penggemar klub sepak bola di Indonesia ini kerap kali mendapat stigma buruk, baik dari sesama penggemar tim lain hingga dari masyarakat umum. Kecintaan besar terhadap Persebaya menyebabkan munculnya pandangan merasa paling benar diantara yang lain. Dengan berbekal rasa cinta tinggi, sering kali terdapat aksi yang berujung pada perseteruan antar sesama pendukung.
Aksi nyata terlihat pada persaingan antara Bonek dan Aremania, pendukung tim sepak bola Arema FC yang berdomisili di Malang. Dominasi Persebaya sejak 2020 hingga saat ini menunjukkan keunggulan tim asal kota Surabaya tersebut dalam melakukan pertandingan melawan Arema FC. Pertandingan kedua tim ini menyulut aksi yang anarkis dari pihak pendukung, baik itu di tribun penonton maupun di jalanan. Terhitung sejak tahun 1994, sudah ada empat pendukung Bonek dan 8 orang Aremania yang tewas selama keduanya saling bertemu. Kematian terakhir terjadi pada tahun 2013 yang lalu.
Dilansir dari tempo.co, semenjak tahun 1994 hingga 2022 terdapat 76 kasus kematian antara pendukung sepak bola di Indonesia. 18 kematian di antaranya disebabkan oleh aksi anarkis para oknum yang mengatasnamakan Bonek. Data ini menunjukkan bahwa sifat fanatik tanpa memikirkan lingkungan sekitarnya dapat berujung dengan fatal, bahkan hingga berakhirnya nyawa sesama. Ironis, bukan? Menimbulkan kematian yang didasari oleh cinta hanya karena rasa kebanggaan yang terlampau tinggi.
Lantas, karakteristik apa yang mirip dari kedua contoh di atas? Pengakuan. Sasaeng ingin idolanya memerhatikan dirinya seolah mereka yang berhak berada di sekitar idolanya. Batas privasi antara mereka dan sang idola seolah saja mereka acuhkan untuk bisa selalu bersama. Sementara itu, Bonek merasa Persebaya merupakan yang terbaik di antara tim lain. Maka, diperlukan adanya pengingat bagi sesama penggemar bahwa kecintaan seorang Bonek lebih tinggi ketimbang mereka. Perseteruan antara sesama penggemar dengan rasa cinta yang berlebih terbukti justru membawa kerugian bagi banyak pihak.
Sasaeng dan pendukung sepak bola dapat menjadi gambaran fanatik. Menjadi penggemar nomor satu dan memiliki rasa suka yang tinggi hingga bersedia melakukan apapun demi idolanya dianggap sebagai suatu kebanggaan. Padahal, tidak semua orang setuju dengan pendapat mereka. Ditambah lagi, sifat denial anti kritik terhadap idolanya semakin menambah pandangan negatif dari masyarakat umum terhadap basis penggemar grup idola Korea Selatan dan pendukung sepak bola Indonesia.
Jadi, apakah menggemari suatu hal selalu berkonotasi buruk? Ini tergantung dari persepsi setiap orang. Mengungkapkan rasa cinta kepada idola memang bukan sesuatu yang salah, selama tidak dilakukan secara berlebihan. Penggemar yang baik adalah mereka yang tidak melupakan jati dirinya sendiri sebelum menuju tahap selanjutnya dalam menghormati pilihan orang yang berbeda dengannya. Diperlukan pula pemikiran dewasa untuk tetap berlaku sebagai penggemar yang baik, dengan tidak memperburuk citra dari basis penggemar di khalayak umum.