Pada Selasa (8/6), Menteri Kesehatan Afrika Selatan, Zweli Mkhize, ‘terpaksa’ mengikuti perintah Presiden Cyril Ramaphosa untuk melaksanakan cuti sementara karena tengah diselidiki atas tuduhan korupsi. Mkhize terjerat tuduhan ini setelah kontrak terkait COVID-19 dari Departemen Kesehatan Afrika Selatan yang ia pimpin dicurigai menggelapkan dana dalam suatu hubungan kerja sama dengan perusahaan penyedia layanan publik, Digital Vibes. Melansir dari CNN, Presiden Ramaphosa mengatakan bahwa ia menempatkan Mkhize dalam periode cuti khusus agar Mkhize dapat berpartisipasi penuh dalam penyelidikan, “Periode cuti khusus ini akan memungkinkan Menteri terkait untuk menghadiri penyelidikan dan tuduhan atas kontrak antara Departemen Kesehatan dengan penyedia layanan, Digital Vibes.” jelasnya.
Mkhize saat ini tengah diselidiki oleh Unit Investigasi Khusus terkait kontrak mencurigakan yang menggelontorkan 11 juta dolar AS ke sebuah firma yang dipimpin oleh mantan asisten serta sekretaris pribadinya. Firma Digital Vibes ini disinyalir telah mulai bekerja sama dengan Departemen Kesehatan sejak tahun 2019 dan mulai memperluas ranah kerja sama di tahun 2020 untuk mengelola media bagi Departemen Kesehatan selama masa pandemi COVID-19. Saat ini, Presiden Ramaphosa sedang menunggu laporan resmi dari Unit Investigasi Khusus terkait kasus ini untuk menentukan langkah selanjutnya. Meski begitu, isu ini telah menyebar luas di berbagai media Afrika Selatan dan memancing kemarahan publik yang kemudian memaksa Mkhize untuk mengundurkan diri dari posisinya sebagai Menteri Kesehatan, “Kami belum mendiskusikan isu pengunduran diri, kami baru mendiskusikan isu cuti khusus sampai ada laporan dari Unit Investigasi Khusus,” tegasnya yang dikutip dari CNN.
Melihat kemarahan masyarakat atas isu korupsi yang menyeret Menkes Afrika Selatan ini, beberapa pihak mengaku tidak terkejut karena praktik korupsi sudah bukan lagi hal baru bagi negara tersebut. Korupsi di Afrika Selatan ini telah mengakar sejak sebelum masa apartheid dan terus-menerus berulang hingga saat ini. Andrea Prisca Kurnadi, seorang dosen dari program studi Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan yang berfokus mengkaji Afrika, mengatakan dalam sebuah sesi wawancara khusus bahwa korupsi yang mendominasi Afrika telah dimulai sejak penjajah menguasai organisasi, sumber daya, serta kekuasaan pemerintah di Afrika. Kala itu, semua uang publik bergerak untuk memenuhi kekuasaan serta kepentingan pribadi para elit. Pemikiran dan praktik ini kemudian terus berlanjut dan menjadi suatu kebiasaan yang mengakar di masyarakat. Bahkan setelah mendapat kemerdekaan, masyarakat Afrika yang terbiasa dengan sistem yang timpang tersebut terus mempertahankan sistem yang telah ada.
Mengakarnya praktik korupsi di Afrika Selatan ini dapat dilihat juga dari salah satu kasus korupsi beberapa waktu silam, yang melibatkan mantan presiden Afrika Selatan, Jacob Zuma. Meski mengaku tidak bersalah, Zuma diharuskan mengikuti persidangan atas tuduhan tersebut baru-baru ini. Dilansir dari DW, Zuma yang menjabat sebagai presiden dari tahun 2009 hingga 2018 didakwa atas tuduhan korupsi, penipuan, pemerasan, serta pencucian uang yang terjadi di tahun 1999. Kala itu, Zuma dituduh telah menerima hampir 300,000 dolar AS sebagai uang suap dari salah satu perusahaan Perancis, Thales, untuk melindunginya dari penyelidikan.
Melihat pola kasus praktik korupsi yang marak dilakukan oleh para elit pemerintahan Afrika Selatan, Andrea Prisca sempat mengatakan bahwa akan sulit bagi Afrika untuk keluar dari sistem yang telah mengakar tersebut. “Karena sistem pemerintahan sudah biasa berjalan dengan adanya korupsi, saat korupsi mati (berhenti), maka sistem pemerintahan pun akan mati. Hal ini dikarenakan masyarakat terbiasa harus menerima sesuatu terlebih dahulu agar civil services bekerja,” jelas Prisca dalam wawancara langsung bersama jurnalis WH pada Rabu (16/06). Berangkat dari hal ini serta banyaknya bukti kasus korupsi besar yang terus mengguncang negara tersebut, melepaskan diri dari praktik korupsi akan menjadi tugas yang sangat berat bagi Afrika Selatan.