Pada hari Senin (21/11), pasukan keamanan Iran mengintensifkan tindakan kekerasan di wilayah mayoritas berpenduduk Kurdi di Iran Barat yang menewaskan belasan orang dalam kurun waktu 24 jam. Adapun provinsi tersebut telah menjadi pusat protes sejak kematian Mahsa Amini, 22, seorang wanita Kurdi yang telah ditangkap oleh polisi moral di Teheran pada bulan September lalu. Saat itu, Amini sedang melakukan perjalanan dengan keluarganya ketika ia ditangkap secara paksa dengan dalih jilbab yang dikenakan olehnya tidak sesuai dengan peraturan berpakaian Iran yang sudah ada sejak tahun 1979. Amini kemudian dibawa ke kamp tahanan khusus untuk wanita pelanggar aturan jilbab. Namun, tiga hari setelahnya ia dinyatakan meninggal. Kantor resmi IRNA menyatakan bahwa kematian Amini disebabkan oleh kegagalan beberapa organ akibat hipoksia serebral atau kekurangan oksigen ke otak. Akan tetapi, melansir dari Al-Jazeera, pengacara keluarga Amini, Saleh Nikbakht, percaya bahwa ia telah dipukuli oleh polisi di dalam tahanan.
Kematian Amini kemudian memicu aksi protes di seluruh penjuru Iran. Protes yang dimulai sejak hari Jumat (16/9) dilakukan untuk menuntut pemerintah Iran agar memberikan lebih banyak kebebasan dan lebih menghargai hak-hak perempuan Iran. Namun, protes ini justru menyebabkan ratusan kematian di antara para pengunjuk rasa. Menurut data yang dipublikasikan oleh Iran Human Rights (IHRNGO), korban tewas saat ini sudah mencapai 378 orang, termasuk 47 anak-anak dan 27 wanita. Masyarakat Iran kemudian menuduh bahwa pasukan keamanan pemerintahlah yang melakukan serangan terhadap demonstran. Dilansir dari CNN, para ahli berpendapat bahwa ini merupakan protes terbesar dan paling signifikan yang pernah terjadi di Iran setelah pembentukan pemerintahan ulama pasca revolusi tahun 1979.
Sementara itu, pihak berwenang Iran menolak untuk bertanggung jawab atas pembunuhan para demonstran dan mengaitkannya dengan “kelompok teroris”. Dilansir dari IranWire, advokat Hak Asasi Manusia Iran, Mahmood Amiry-Moghaddam, mengatakan, “Tujuan dari kampanye disinformasi dan mengaitkan pembunuhan pengunjuk rasa dengan kelompok bersenjata asing digunakan oleh pemerintah untuk menjustifikasi penggunaan amunisi langsung yang lebih luas terhadap pengunjuk rasa.” Atas dasar tersebut, lima pengunjuk rasa secara resmi akan dieksekusi oleh pemerintah Iran karena dianggap berpartisipasi dalam pemberontakan.
Momentum Piala Dunia untuk Menyuarakan Aspirasi Demonstran Iran
Tidak hanya di skala domestik, masyarakat Iran juga melakukan protes di skala internasional. Penggemar sepak bola Iran menggunakan pertandingan Iran-Inggris pada Senin (21/11) untuk mengangkat isu ini ke ranah internasional. Lantunan “Say her name, Mahsa Amini” menggema di antara para pengunjuk rasa di luar stadion menjelang pertandingan pertama Iran di Piala Dunia 2022 tersebut. Selain itu, beberapa suporter juga terlihat mengenakan kaos bertuliskan “Zan, Zindagi, Azadi” yang memiliki arti wanita, kehidupan, kebebasan. Kalimat tersebut merupakan slogan terkenal yang biasa digunakan untuk melakukan protes di Iran. Dilansir dari Al Jazeera, seorang penonton bernama Mahmoud Izadi berpendapat, “Rakyat (saya) di Iran sedang berada di bawah banyak tekanan dan dibunuh oleh rezim, jadi kami ingin menggunakan kesempatan ini untuk menyuarakan suara mereka.” Tim nasional sepak bola Iran juga turut memberikan aksi solidaritas dengan tidak menyanyikan lagu kebangsaan nasional pada saat pembukaan laga tersebut.