Metaverse of Madness

Sumber: Freepik

Bayangkan kamu adalah seorang penyihir, melakukan teleportasi dari satu tempat ke tempat lain dengan sesuka hati. Memakai sebuah cincin khusus, menggerakan tangan secara melingkar, dan sebuah portal akan terbuka ke destinasi yang diinginkan. Everest, New York, bahkan dimensi lain bisa dikunjungi dalam hitungan detik. Tetapi apakah benar kamu penyihir? Doctor Strange? Tentu tidak. Kamu sekarang sedang memakai headset virtual reality dan berada di dalam metaverse.

Secara singkat, metaverse adalah dunia virtual tempat orang-orang dapat bersosialisasi, bermain, bekerja, dan berkarya layaknya dalam dunia fisik. Perbedaannya adalah orang-orang yang bergabung dan berinteraksi di dalamnya diwakilkan oleh avatar sebagai representasi digital diri mereka.

Konsep metaverse sebenarnya sudah ada sejak tahun 90-an, pertama kali muncul di buku fiksi ilmiah karya Neal Stephenson yang berjudul Snow Crash. Dengan berkembangnya teknologi blockchain (termasuk non-fungible token/NFT dan cryptocurrency), virtual reality (VR)dan augmented reality (AR)ditambah keputusan perusahaan teknologi dan media sosial besar seperti Meta untuk terjun dalam metaverse, dunia virtual yang digambarkan oleh Stephenson menjadi kenyataan yang semakin utuh.

Terlepas dari kesan utopis dan berbagai kesempatan yang dapat muncul, metaverse penuh dengan ketidakpastian. Dunia virtual adalah dunia yang belum sepenuhnya dipetakan. Penggunaan teknologi tanpa kesadaran dan pemahaman penuh dapat berakhir petaka, memutuskan diri dari dunia fisik yang kita kenali saat ini. Tidak bisa dipungkiri bahwa di zaman sekarang, kita yang sangat bergantung dengan media sosial dan juga smartphone yang masih berbentuk fisik pun sudah mulai terputus dengan lingkungan sekitar. Lantas, bagaimana jadinya ketika semuanya berbentuk virtual?

Kekhawatiran tentang metaverse tidak hanya dilatarbelakangi oleh perasaan pesimis akan perkembangan teknologi. Dilansir dari Dazed, Dr. Daria Kuss, ketua Cyberpsychology Research Group di Nottingham Trent University, mengatakan bahwa sifat metaverse yang mendorong pengguna untuk terus online dikhawatirkan berpotensi memperburuk masalah kesehatan mental. Mulai dari gangguan depresi, kecemasan, hingga kecanduan dapat membuat seseorang merasa terputus dari dunia fisik. Adanya berita mengenai seorang perempuan asal Inggris yang mengalami pelecehan secara verbal dan seksual oleh sejumlah avatar laki-laki saat bergabung di Horizon World, dunia virtual milik Meta, turut menambah kekhawatiran mengenai keamanan metaverse. Kuss mengatakan bahwa hal ini dapat berujung pada rasa stres dan trauma.

Meta sendiri sudah mengeluarkan janji untuk mengembangkan metaverse secara bertanggung jawab di tengah kekhawatiran masyarakat. Andrew Bosworth, VP Facebook Reality Labs, dan Nick Clegg, VP Global Affairs, mengumumkan bahwa perusahaan tersebut berencana bekerja sama dengan berbagai ahli dan pembuat kebijakan serta menaruh investasi sebesar 50 juta USD untuk melakukan riset dengan berbagai institusi di dunia. Akan tetapi, janji Meta justru menimbulkan skeptisisme karena sifat perusahaannya yang terkenal kurang mengutamakan aspek well-being penggunanya.

Terlepas dari segala ketidakpastiannya, perkembangan dunia virtual mungkin akan menjadi realitas tidak terhindari. Metaverse dan teknologi-teknologi yang menjadi bahan dasar pembangunannya masih akan selalu berkembang seiring berjalannya waktu. Tanpa sadar kita semua juga perlahan terbawa oleh arus perubahan yang akan terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari. Mau tidak mau kita harus menerimanya agar tidak tertinggal oleh zaman.

Banyak seniman yang mulai menjual karyanya dalam bentuk NFT. Beberapa negara di dunia juga mulai mengakui cryptocurrency sebagai mata uang yang sah. Lebih dari itu, beberapa ahli medis melihat metaverse sebagai platform sosial yang berpotensi membuat terapi mental daring lebih terjangkau dan terasa lebih riil, terutama bagi para penyandang disabilitas. Layanan medis virtual seperti ini sudah direalisasikan oleh National Health Service di Britania Raya yang mendesain layanan terapi VR bernama OxfordVR. Terapi ini menggabungkan VR dan cognitive behavioral therapy (CBT) untuk membantu menyembuhkan pasien gangguan kecemasan sosial dengan mengekspos mereka kepada imitasi situasi-situasi sosial tertentu.

Namun, bagaimanapun juga, kita harus ingat bahwa realitas fisik adalah realitas penting tempat sebagian besar hal yang menopang kehidupan sosial berada. Building blocks yang membangun metaverse sendiri juga berasal dari dunia fisik. Hal yang penting adalah bagaimana kita sebagai pengguna sadar akan konsekuensi dari perkembangan ini dan selalu berhati-hati. Terlebih lagi, penting bagi para pengembang metaverse untuk menempatkan keamanan penggunanya sebagai prioritas utama. Jadi bagaimana KawanWH, are you in for the madness of metaverse?