Tangisan bawang, muka memelas, dan janji manis. Mulai dari video penjelasan hingga screenshot aplikasi notes, hampir setiap influencer global dan selebriti lokal pernah membuat konten dengan tujuan meminta maaf. Namun, apakah permintaan maaf ini tulus untuk menjadi individu yang lebih baik, atau hanya politik dunia hiburan digital belaka?
Beberapa influencer media sosial yang pernah melakukan konten tersebut tidak hanya kreator konten internasional seperti James Charles, Shane Dawson, Jeffree Star, Tati Westbrook, David Dobrik, Trisha Paytas, Jenna Marbles, dan sebagainya. Namun, Influencer dan artis lokal asal Indonesia pun sudah banyak yang membuat konten permintaan maaf, misalnya Karin Novilda, Ardhito Pramono, Raffi Ahmad, dan lain sebagainya. Biasanya, konten permintaan maaf mereka dimulai dengan ekspresi yang memelas dengan setting yang candid. Menunjukkan kekecewaan dan rasa penyesalan, konten klarifikasi ini juga sering dipenuhi dengan janji akan “mengambil tanggung jawab sepenuhnya”. Tidak jarang juga konten-konten tersebut diiringi dengan judul yang bersifat clickbait dengan thumbnail mata merah berair, yang sering dituduh palsu oleh penontonnya. Namun, konten dengan nuansa tersebut justru memiliki tontonan yang amat tinggi.

Gary Chapman, penulis buku The 5 Love Languages, juga menulis buku yang berfokus pada lima jenis permintaan maaf. Kelima apology language tersebut meliputi permintaan maaf, menerima tanggung jawab, mengungkapkan penyesalan, ganti rugi, dan bertobat. Permintaan maaf yang tulus adalah permintaan maaf yang diplomatis, dan pertanggungjawaban tindakan yang dewasa adalah dengan adanya perubahan karakter atau sikap. Ketika kedua hal tersebut hanya menjadi janji tanpa aksi, sang peminta maaf pada dasarnya dapat dikatakan berbohong.
Hubungan antara influencer dan selebriti dengan pengikutnya terkesan intim. Para penggemar ini terikat perasaan yang memberikan mereka ilusi seakan hubungan yang dimiliki dengan idolanya adalah suatu yang personal. Fenomena ini dikenal dengan istilah parasocial relationship, yang dikemukakan oleh sosiolog Richard Wohl dan Donald Horton pada tahun 1956. Parasocial relationship lebih jelasnya merupakan hubungan psikologis satu sisi yang merujuk pada ilusi relasi intim yang melibatkan emosi, perasaan, waktu dan komitmen dengan suatu tokoh. Tokoh yang paling sering menjadi “pasangan” dalam hubungan ini adalah selebriti, organisasi (seperti klub olahraga), bahkan karakter fiktif. Di masa lalu, relasi ini lebih linear sebab konten yang tersedia pada media hanya searah. Dengan dukungan kemajuan teknologi yang memungkinkan penggemar berinteraksi dengan kreator konten atau selebriti tersebut, ilusi yang didapatkan dari hubungan parasosial ini semakin meningkat. Dapat diartikan bahwa audiens dari para kreator ini menjadi aktor yang berperan penting dalam perkembangan karir dan konten mereka; dan sekaligus melanggengkan hubungan satu sisi ini.
Permintaan maaf yang diungkapkan oleh para kreator konten ini dapat memikat simpati penonton mereka, dan sekaligus meningkatkan relevansi mereka dengan menjadi topik pembicaraan yang hangat dalam komunitas daring/media sosial. Teknik peningkatan interaksi ini sebenarnya dapat dikatakan cukup diplomatis dan dimensional. Di sisi lain, konsekuensi yang ada juga menjadi taruhan yang cukup berat dengan adanya cancel culture. Jika permintaan maaf berhasil menarik simpati dari pengikutnya, para influencer ini dapat terus mengembangkan platform mereka. Jika gagal dan terlanjur “canceled”, karir mereka akan menurun drastis. Sebab, eksistensi mereka sendiri seakan menjadi lelucon di dunia maya.
Ketika konten permintaan maaf ditujukan untuk melakukan klarifikasi, apakah sang pembuat konten mengaku bersalah dan tulus ingin berubah? Apakah mereka hanya melakukan taktik clickbait demi views? Atau justru mereka yang ingin menunjukkan perubahan karakter, namun, terlanjur dipandang negatif oleh netizen? Relasi parasosial yang dimiliki oleh pengikut para influencer ini sangat dipengaruhi oleh bagaimana penyampaian sang influencer meminta maaf. Baik dengan niat tulus maupun untuk fulus, hanya sang kreator dan manajer merekalah yang tahu.