Michael Raffy Sujono: Kuliah Berdiplomasi, Lulus Bertani

Mencari pekerjaan setelah lulus bukan perkara mudah, apalagi ketika lulus di saat pandemi COVID-19 mulai mendisrupsi kehidupan. Michael Raffy Sujono, seorang alumni Hubungan Internasional UGM yang akrab dipanggil Dipa, merasakan kesulitan itu secara langsung. Lapangan pekerjaan semakin sempit, dan berbagai tempat kerja yang lekat dengan lulusan Hubungan Internasional seperti Kementerian Luar Negeri, atau kedutaan besar, tidak menarik bagi Dipa. Selain itu, berbagai pilihan pekerjaan yang tidak sejalan dengan pandangan Dipa sendiri menjadi salah satu alasan kenapa ia sulit memilih pekerjaan. “Kita tahu, ada banyak sumber penghasilan yang berpengaruh buruk di zaman sekarang. Bagiku, sektor pertanian adalah salah satu cara menghindari uang-uang tersebut, dan memastikan bahwa uang dan makanan untuk keluargaku datang dari sumber yang halal,” Dipa meneruskan.

Perbedaan pandangan dan nilai yang dirasakan Dipa membuatnya yakin untuk mulai berkarier sebagai petani. Ketertarikan Dipa terhadap pertanian sebenarnya sudah muncul di ujung masa perkuliahan, terutama setelah Kuliah Kerja Nyata atau KKN, ketika ia melihat langsung kondisi pertanian di Indonesia. “Ada krisis petani muda, dan walaupun ini nggak terjadi di Indonesia aja, tapi bedanya di Uni Eropa atau Amerika Serikat, ada subsidi besar-besaran juga untuk petani, dan luas lahannya pun berbeda jauh. Mereka bisa ngelola lahan sampai 400 hektar, sementara petani di Indonesia bahkan kebanyakan nggak sampai 1 hektar,” Dipa memaparkan. Permasalahan ini menjadi salah satu faktor pendorong utama dalam keputusannya untuk mulai bertani.

Namun, perjalanannya jauh dari mulus. Dengan kurangnya infrastruktur pertanian dan ketidakjelasan proteksi bagi petani dari negara, petani muda harus mengerahkan upaya ekstra untuk masuk ke ekosistem pertanian. “Orang lain kan suka bilangnya jatuh bangun ya, aku dan petani muda lainnya malah jatuh, jatuh, dan terperosok,” seloroh Dipa soal betapa sulitnya bertani. Lahan yang semakin penuh membuat petani muda mengalami keterbatasan dalam menggarap lahan. Di Pulau Jawa sendiri, pilihannya sudah begitu sedikit hingga hal yang paling memungkinkan adalah menyewa lahan, seperti yang Dipa lakukan.

Sumber: Dokumentasi pribadi

Untuk menyewa lahan, Dipa pun mengalami berbagai tantangan. “Ini belajar langsung jadinya, nggak dari buku. Ternyata petani tuh nggak punya kedudukan sosial, suaranya bakal selalu lebih rendah daripada orang lain saat mau sewa lahan di desa,” Dipa bercerita. Ketika hendak menyewa, tidak ada surat-surat yang dapat memberikan jaminan dan biayanya pun tidak murah. Agar diperhatikan, ia perlu menginisiasi diskusi dan mencoba negosiasi serta mencari orang-orang di sekitar yang bersedia membantu. Akhirnya, bermodal kemampuan diplomasi seorang lulusan HI, bantuan serikat petani setempat, dan modal dari orang tua, Dipa berhasil menyewa lahan di daerah Sukabumi, dekat dengan kampung halamannya. “Dipikir-pikir lagi ini bukan hal yang strategis sih, karena emang susah banget, dan aku jadi ngerti kenapa banyak petani muda berguguran. Tapi ini jadi pembelajaran yang bagus juga buat aku,” ungkap Dipa mengenai pilihan ini.

Walaupun Dipa mengalami berbagai kendala, ia mengungkapkan rasa syukurnya sudah sempat belajar banyak dengan petani lokal. “Aku belajar lewat komunitas Sekolah Tani Muda, tapi belajar juga dari petani senior yang bener-bener passionate soal bertani dan mewarisi pengetahuan yang nggak ada di internet,” Dipa menambahkan. Walaupun dominan belajar di Yogyakarta, Dipa juga pergi ke berbagai daerah lain seperti Purworejo, Klaten, Magelang, dan kemudian juga belajar bersama petani Sukabumi dan Cianjur ketika sudah menyewa lahannya sendiri.

Tidak hanya dengan petani lokal, Dipa pun pernah belajar bersama Korean Women Peasants’ Association, kelompok petani perempuan dari Korea Selatan. Mereka tidak hanya membawa wawasan pada aspek teknis dari pertanian, namun juga pada aspek sosial dan gender di dalam pertanian. Dipa menjelaskan bahwa pada pertanian tradisional, ada pembagian peran gender yang signifikan, dan ia menyampaikan, “Peran perempuan kan sering kali diasosiasikan dengan peran istri dan memasak, jadi mereka penting banget dalam pertanian karena itu, dan akhirnya mereka memegang peran sentral dalam masyarakat juga.” Maka, perempuan secara tradisional turut diagungkan karena pengetahuannya, tetapi pergeseran tradisi justru mereduksi peran perempuan di dalam dunia pertanian sehingga kearifan lokal yang mereka wariskan secara turun-temurun terkikis.

Sumber: Dokumentasi pribadi

Pergeseran tradisi ini menyebabkan berbagai perubahan dalam sistem pertanian yang dikenal sekarang. Perubahan yang terlihat jelas adalah dalam model pertanian modern yang kini bertujuan mendapat hasil tani sebanyak mungkin dalam jangka waktu sependek mungkin. Padahal, sebelum Revolusi Hijau, berbagai kebudayaan di Indonesia justru mengistirahatkan tanahnya setelah masa panen, dan memberi waktu bagi tanah mengalami proses penyuburan kembali, tanpa harus bergantung dengan pupuk, sehingga jauh lebih berkelanjutan daripada metode pertanian modern. “Dalam pertanian tradisional, itu mereka bisa konservasi alam dan menjaga lanskap bioekologis sembari tetap menopang kehidupan manusia,” Dipa menjelaskan. Maka, pelestarian kearifan lokal menjadi hal yang Dipa coba terapkan dalam proses pertaniannya.

Namun, konservasi alam melalui cara-cara tradisional tidak bisa berhasil jika tidak dilakukan dalam skala yang masif. Individu layaknya Dipa hanya persentase kecil dari petani di dunia, dan ketika individu merasa harus bertanggung jawab atas konservasi lingkungan, yang terjadi justru adalah burnout, dan overburdening diri sendiri. “Perubahan itu nggak bisa cuman dilakukan individu cemerlang, tapi butuh komunitas atau masyarakat yang berserikat. Masalah yang kita alami sekarang itu nggak bisa selesai dengan sekadar pergerakan satu orang aja, tapi harus dengan kerja sama,” Dipa menjelaskan.

Maka, kesadaran soal pentingnya pertanian yang berkelanjutan dan konservasi lingkungan perlu berkembang menjadi gerakan besar, mulai dari diri kita. “Kalau dilakukan lebih masif, harapan kita lebih baik untuk membawa perubahan, tapi bagi aku sendiri walaupun belum tentu bisa bikin perubahan, setidaknya aku bisa merasa bahagia dan semangat hidup ke depan ketika bisa makan sawi yang aku tanam, atau lihat bunga matahariku berbunga,” Dipa mengakui. Menutup perkataannya, Dipa berpesan, “Konservasi lingkungan itu tugas kita semua yang tinggal di bumi, dan walaupun aku mungkin nggak bisa bawa perubahan makro dengan bertani, aku berharap aku dan lebih banyak orang bisa jadi bagian dari gerakan sosial, dan meningkatkan kesadaran dan empati semua orang terhadap petani.”