Artikel ini merupakan hasil wawancara bersama Butet Manurung dari webinar x talkshow “Bebas vol.1” Sabtu, 31 Oktober 2020. Bebas merupakan acara yang diselenggarakan oleh divisi pengabdian masyarakat dari HMPSIHI Unpar, dengan tema “melihat pengabdian di masyarakat adat”. Kali ini, divisi pengabdian masyarakat Unpar berkolaborasi dengan Sokola Insitute yang bergerak dalam bidang literasi dan advokasi untuk masyarakat adat dan masyarakat marjinal. Untuk informasi selengkapnya di instagram @hmpsihiunpar.
—
Orang Rimba kerap kali ditipu oleh orang luar yang merampas tanah mereka. Ketidakmampuan membaca, menulis, dan berhitung menyebabkan mereka tidak pernah tahu apa yang tertulis di kertas perjanjian jual-beli. Padahal, kehidupan mereka sangat bergantung dengan alam, dan sayangnya wilayah mereka terus berkurang.
Bertekad ingin menjadi pengajar masyarakat adat, Butet Manurung menapakkan kakinya di Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi pada tahun 1999. Ia menjumpai Orang Rimba dari Suku Anak Dalam lengkap dengan atribut layaknya hendak bertualang. Sangat berbeda dengan pakaian Orang Rimba yang hanya sebatas cawat (kain untuk menutupi kemaluan). “Mengapa mereka begitu primitif? Mengapa pakaiannya seperti itu? Mereka harus modern!” ujarnya dalam hati.
Mungkin, tidak hanya Butet yang memiliki pemikiran seperti itu. Datang bukan dengan pertanyaan, namun dengan penilaian. Tujuan utama yang seharusnya transfer ilmu, justru menimbulkan dorongan tersendiri untuk transfer gaya hidup. Pandangan-pandangan ini membuktikan bahwa orang-orang berusaha berkontribusi kepada masyarakat adat dengan cara yang kurang tepat. Mereka menempatkan diri mereka sendiri sebagai tolok ukur, bukan dari sudut pandang masyarakat adat.
Tidak sekali dua kali niat baik Butet ditolak masyarakat adat. Ia tidak dipercaya dan dikira hendak mengubah adat istiadat yang telah berlaku. Namun hal ini tidak menghentikannya dari berjuang. Usaha Butet untuk memperoleh kepercayaan dari masyarakat dimulai dari mempelajari Bahasa Rimba, menjalani hidup layaknya Orang Rimba bahkan sampai dikejar beruang. Nyatanya, pengalaman ini membuka matanya. Cawat yang ia kira primitif justru lebih efisien untuk menyelamatkan diri dibandingkan pakaian safarinya yang terus menyangkut di dedurian. Sejak saat itu, Butet menyadari bahwa selama ini ia adalah seorang murid, dan Orang Rimba adalah gurunya.
Setiap masyarakat menguasai ilmu di wilayahnya masing-masing, ini terjadi baik dari pedalaman maupun kota. Sayangnya, banyak gerakan literasi yang berusaha menyeragamkan pendidikan masyarakat adat sebagaimana idealnya pendidikan di kota. Padahal, apabila sekolah berarti bekal menjalani hidup, masyarakat adat tidak membutuhkan materi integral untuk memenuhi kebutuhannya. Sekolah bagi Orang Rimba berarti mempelajari bagaimana cara menjadi pemburu yang baik atau belajar bersiul untuk memanggil paus. Sebab, dengan kemampuan tersebutlah Orang Rimba dapat mempertahankan diri di hutan.
Keberagaman tidak pernah baik untuk diseragamkan. Maka dari itu, apabila ingin memberi pengajaran kepada masyarakat adat, buatlah metode yang kontekstual. Kurikulum nasional belum berhasil memenuhi kebutuhan masyarakat adat seperti Orang Rimba. Butet memberi contoh, apabila SD kelas 1 di kota berarti anak memiliki kemampuan untuk melakukan penambahan dan pengurangan, maka SD kelas 1 bagi Orang Rimba berarti anak mampu menangkap tikus.
Dari contoh di atas, tidak ada satupun anak yang lebih bodoh atau lebih pintar. Keduanya bermanfaat bagi mereka bertahan hidup. Butet mengatakan dalam seminar Pengabdian Masyarakat HMPSIHI Unpar yang berjudul “Melihat Pengabdian Masyarakat Adat,” bahwa penyamarataan justru membuat mereka kehilangan jati diri. “Buku adalah jendela dunia. Tapi untuk apa mengenal dunia, namun melupakan diri sendiri?” ujarnya.
Terdapat kurang lebih 50 juta masyarakat adat di Indonesia, walau mereka dapat beradaptasi dengan perkembangan zaman, bukan berarti mereka akan meninggalkan rimba. Hal terpenting dalam mengedukasi masyarakat adat adalah membuat mereka sadar bahwa mereka memiliki potensi yang dapat dimanfaatkan. Masalahnya, potensi tersebut sering dimanfaatkan oleh pihak luar dan merugikan masyarakat adat itu sendiri. Maka dari itu, untuk berkontribusi mengedukasi mereka,
“Kawan WH harus memahami makna bahagia, tujuan hidup, bahkan ketakutan yang dimiliki masyarakat adat.”
Kami mengucapkan terima kasih untuk divisi pengabdian masyarakat HMPSIHI yang telah mengundang kami untuk meliput acara Bebas vol.1. Kami juga berterima kasih kepada Sokola Institue dan Butet Manurung yang telah menyempatkan waktu untuk wawancara bersama kami.
Artikel ini merupakan hasil wawancara bersama Butet Manurung dari webinar x talkshow “Bebas vol.1” Sabtu, 31 Oktober 2020. Bebas merupakan acara yang diselenggarakan oleh divisi pengabdian masyarakat dari HMPSIHI Unpar, dengan tema “melihat pengabdian di masyarakat adat”. Kali ini, divisi pengabdian masyarakat Unpar berkolaborasi dengan Sokola Insitute yang bergerak dalam bidang literasi dan advokasi untuk masyarakat adat dan masyarakat marjinal. Untuk informasi selengkapnya di instagram @hmpsihiunpar.
Orang Rimba kerap kali ditipu oleh orang luar yang merampas tanah mereka. Ketidakmampuan membaca, menulis, dan berhitung menyebabkan mereka tidak pernah tahu apa yang tertulis di kertas perjanjian jual-beli. Padahal, kehidupan mereka sangat bergantung dengan alam, dan sayangnya wilayah mereka terus berkurang.
Bertekad ingin menjadi pengajar masyarakat adat, Butet Manurung menapakkan kakinya di Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi pada tahun 1999. Ia menjumpai Orang Rimba dari Suku Anak Dalam lengkap dengan atribut layaknya hendak bertualang. Sangat berbeda dengan pakaian Orang Rimba yang hanya sebatas cawat (kain untuk menutupi kemaluan). “Mengapa mereka begitu primitif? Mengapa pakaiannya seperti itu? Mereka harus modern!” ujarnya dalam hati.
Mungkin, tidak hanya Butet yang memiliki pemikiran seperti itu. Datang bukan dengan pertanyaan, namun dengan penilaian. Tujuan utama yang seharusnya transfer ilmu, justru menimbulkan dorongan tersendiri untuk transfer gaya hidup. Pandangan-pandangan ini membuktikan bahwa orang-orang berusaha berkontribusi kepada masyarakat adat dengan cara yang kurang tepat. Mereka menempatkan diri mereka sendiri sebagai tolok ukur, bukan dari sudut pandang masyarakat adat.
Tidak sekali dua kali niat baik Butet ditolak masyarakat adat. Ia tidak dipercaya dan dikira hendak mengubah adat istiadat yang telah berlaku. Namun hal ini tidak menghentikannya dari berjuang. Usaha Butet untuk memperoleh kepercayaan dari masyarakat dimulai dari mempelajari Bahasa Rimba, menjalani hidup layaknya Orang Rimba bahkan sampai dikejar beruang. Nyatanya, pengalaman ini membuka matanya. Cawat yang ia kira primitif justru lebih efisien untuk menyelamatkan diri dibandingkan pakaian safarinya yang terus menyangkut di dedurian. Sejak saat itu, Butet menyadari bahwa selama ini ia adalah seorang murid, dan Orang Rimba adalah gurunya.
Setiap masyarakat menguasai ilmu di wilayahnya masing-masing, ini terjadi baik dari pedalaman maupun kota. Sayangnya, banyak gerakan literasi yang berusaha menyeragamkan pendidikan masyarakat adat sebagaimana idealnya pendidikan di kota. Padahal, apabila sekolah berarti bekal menjalani hidup, masyarakat adat tidak membutuhkan materi integral untuk memenuhi kebutuhannya. Sekolah bagi Orang Rimba berarti mempelajari bagaimana cara menjadi pemburu yang baik atau belajar bersiul untuk memanggil paus. Sebab, dengan kemampuan tersebutlah Orang Rimba dapat mempertahankan diri di hutan.
Keberagaman tidak pernah baik untuk diseragamkan. Maka dari itu, apabila ingin memberi pengajaran kepada masyarakat adat, buatlah metode yang kontekstual. Kurikulum nasional belum berhasil memenuhi kebutuhan masyarakat adat seperti Orang Rimba. Butet memberi contoh, apabila SD kelas 1 di kota berarti anak memiliki kemampuan untuk melakukan penambahan dan pengurangan, maka SD kelas 1 bagi Orang Rimba berarti anak mampu menangkap tikus.
Dari contoh di atas, tidak ada satupun anak yang lebih bodoh atau lebih pintar. Keduanya bermanfaat bagi mereka bertahan hidup. Butet mengatakan dalam seminar Pengabdian Masyarakat HMPSIHI Unpar yang berjudul “Melihat Pengabdian Masyarakat Adat,” bahwa penyamarataan justru membuat mereka kehilangan jati diri. “Buku adalah jendela dunia. Tapi untuk apa mengenal dunia, namun melupakan diri sendiri?” ujarnya.
Terdapat kurang lebih 50 juta masyarakat adat di Indonesia, walau mereka dapat beradaptasi dengan perkembangan zaman, bukan berarti mereka akan meninggalkan rimba. Hal terpenting dalam mengedukasi masyarakat adat adalah membuat mereka sadar bahwa mereka memiliki potensi yang dapat dimanfaatkan. Masalahnya, potensi tersebut sering dimanfaatkan oleh pihak luar dan merugikan masyarakat adat itu sendiri. Maka dari itu, untuk berkontribusi mengedukasi mereka,
“KawanWH harus memahami makna bahagia, tujuan hidup, bahkan ketakutan yang dimiliki masyarakat adat.”
—
Kami mengucapkan terima kasih untuk divisi pengabdian masyarakat HMPSIHI yang telah mengundang kami untuk meliput acara Bebas vol.1. Kami juga berterima kasih kepada Sokola Institue dan Butet Manurung yang telah menyempatkan waktu untuk wawancara bersama kami.