Pada Selasa (10/5), Finlandia menyatakan keinginannya untuk bergabung dengan North Atlantic Treaty Organization (NATO) dan akan segera mengirimkan berkas keanggotaan. Tidak lama setelahnya, Swedia juga menuturkan ketertarikan untuk bergabung dengan aliansi pertahanan antar pemerintah tersebut. Langkah yang diambil oleh kedua negara Nordik ini merupakan bentuk respon dari invasi Rusia ke Ukraina yang telah berlangsung sejak bulan Februari lalu. Akan tetapi, keduanya baru dapat bergabung secara resmi apabila 30 negara anggota NATO telah menyetujui permohonan mereka. Proses keanggotaan ini akan memakan waktu beberapa bulan seperti yang dikatakan oleh Sekretaris Jenderal NATO, Jens Stoltenberg, dalam wawancaranya dengan pihak CNBC.
Langkah Finlandia dan Swedia untuk bergabung dengan NATO ini kemudian dinilai sebagai pergeseran monumental dalam peta perpolitikan global. Sebelumnya, negara-negara Nordik terkenal akan sejarah panjang mereka dalam menjaga kebijakan netralitas selama perang, salah satunya dengan tidak bergabung dengan aliansi pertahanan yang ada. Misalnya, Swedia adalah satu-satunya negara Nordik yang bersifat netral selama Perang Dunia Kedua dan menerapkan kebijakan netralitas selama Perang Dingin. Sementara itu, Finlandia juga mengupayakan kebijakan netralitas selama dan setelah Perang Dingin. Melihat sejarah keduanya, keinginan Finlandia dan Swedia untuk bergabung dengan NATO ini pun seakan mematahkan ciri khas netralitas yang telah menjadi bagian dari mereka sendiri.
Lantas, keamanan menjadi alasan bagi kedua negara untuk ikut serta dalam NATO. Dalam pernyataan bersama Presiden dan Perdana Menteri Finlandia yang dirilis pada Kamis (12/5), Finlandia menyatakan bahwa “Keanggotaan NATO akan memperkuat keamanan Finlandia. Sebagai anggota NATO, Finlandia akan memperkuat seluruh aliansi pertahanan. Finlandia harus mengajukan keanggotaan NATO tanpa penundaan.” Hal senada juga dikeluarkan oleh Swedia, yang melihat permohonan keanggotaan kepada NATO sebagai langkah untuk menjaga kestabilan kawasan. “Kami berbagi gagasan bahwa kerja sama yang erat (dengan NATO) akan menguntungkan kami berdua,” kata Perdana Menteri Swedia, Magdalena Andersson, dalam konferensi pers pada Kamis (13/4) bersama mitranya dari Finlandia, Perdana Menteri Sanna Marin.
Keinginan kedua negara untuk bergabung dengan NATO kemudian memicu berbagai tanggapan, terutama dari Rusia. Dalam pertemuan di Moskow pada Senin (16/5), Putin mengatakan bahwa langkah Swedia dan Finlandia yang bergabung dengan NATO akan memicu tanggapan dari Rusia. Namun, Putin tidak merinci langkah apa saja yang mungkin dilakukan oleh Kremlin dan mengatakan Rusia akan melihat terlebih dahulu ancaman yang muncul jika tetangga Nordiknya bergabung dengan NATO.
Dampak Keanggotaan Finlandia dan Swedia di NATO
Keinginan Finlandia dan Swedia untuk bergabung menjadi anggota NATO menimbulkan banyak spekulasi mengenai dampak yang dapat ditimbulkan. Yulius Purwadi Hermawan Drs, M.A., Ph.D, seorang dosen Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan yang memiliki fokus kajian pada kawasan Eropa, mengatakan bahwa kawasan Eropa tidak akan terlalu terdampak apabila Swedia dan Finlandia bergabung dengan NATO. “Dinamika di Eropa tidak akan banyak berubah, karena Finlandia dan Swedia tidak signifikan bagi Rusia secara historis,” ujarnya dalam sesi wawancara dengan Warta Himahi pada Kamis (19/5). Purwadi juga menambahkan bahwa kontestasi politik global baru akan terasa berubah apabila ada tiga negara yang bergabung dengan NATO, yaitu Ukraina, Georgia dan Moldova. Hal ini dikarenakan kedekatan historis mereka dengan Rusia sebagai sesama negara bekas Uni Soviet.
Tidak hanya itu, Purwadi juga berbagi perspektifnya mengenai keputusan Swedia dan Finlandia untuk bergabung dengan NATO. Menurut Purwadi, langkah kedua negara untuk bergabung dengan NATO didasari oleh pandangan rasional dari kedua negara yang percaya bahwa netralitas sudah tidak cukup untuk mengamankan negaranya dari ancaman. (AFN)