Myanmar, Melawan Lewat Diam

Di dunia yang semakin terhubung dan dimudahkan dengan adanya teknologi, tentu membuat kehidupan manusia menjadi lebih mudah. Dalam hal berkomunikasi saja misalnya, jarak bukan lagi halangan agar bisa saling terhubung. Media sosial yang merupakan salah satu hasil dari kemajuan itu telah menjadi tempat di mana penggunanya dapat saling berkomunikasi dan berbincang-bincang secara virtual. Namun, hal ini sempat menjadi masalah pelik di Myanmar pasca kudeta militer yang terjadi pada tanggal 1 Februari 2021 lalu. Kudeta ini sendiri terjadi setelah berhari-hari ketegangan meningkat antara pemerintah sipil dan pihak militer.

Hingga saat ini, demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat Myanmar terkait kudeta militer di negara tersebut masih berlangsung. Menurut laporan terakhir, sebanyak 320 orang tewas dalam demo anti-kudeta Myanmar. Bahkan jumlah ini termasuk tenaga medis yang tak luput menjadi sasaran pihak militer. Karena semakin banyak orang yang menyuarakan suara, baik itu secara langsung atau virtual membuat militer mengambil langkah tegas. Dimulai dari pemblokiran media sosial, seperti Facebook dan WhatsApp di negara tersebut. Sebab, hal ini dianggap sebagai perlawanan karena dianggap mengganggu stabilitas negara. Generasi muda di Myanmar, yang dalam kasus ini menjadi penggerak utama aksi-aksi perlawanan di Yangon dan kota-kota besar lain menjadi pihak yang paling terkena dampak dari pengawasan ketat ini.

Manusia sendiri, terutama mereka yang kehilangan haknya dalam bersuara dan menyampaikan pendapat, cenderung akan mencari alternatif lain agar suara mereka dapat kembali didengar. Terutama mengenai kritikan kepada pemerintah mereka sendiri. Dalam jurnal A Prime in Social Media: Examining the Phenomenon, its Relevance, Promise and Risks karya Eric Karjaluoto, dijelaskan bahwa ia membagi media sosial menjadi 6 macam, yakni BlogForumsContent Community, Dunia Virtual, Wikis, dan Social Networks. Ia melihat bahwa media sosial telah membuat para penggunanya untuk saling berinteraksi dan terhubung satu sama lain. Secara tidak langsung dengan adanya forum-forum di dunia virtual, maka akan tercipta ide dan gagasan baru.

Pembuktian terkait dapat disesuaikan dengan kondisi yang sedang terjadi sekarang di Myanmar. Pemblokiran media sosial mengakibatkan diskusi virtual bagi masyarakat Myanmar terhenti untuk sementara. Situasi ini seolah-olah sengaja dilakukan demi terciptanya situasi yang kondusif di Myanmar. Masyarakat, yang diwakilkan oleh generasi muda mencoba mencari kembali arti demokrasi yang telah diambil secara paksa oleh militer pasca kudeta. Langkah alternatif perlu diupayakan agar masyarakat dapat kembali berkomunikasi setelah terjadinya pemblokiran sejumlah media sosial.

Salah satu cara menarik yang dilakukan oleh masyarakat Myanmar untuk saling berkomunikasi di tengah pemblokiran Internet, yaitu dengan menggunakan sebuah aplikasi offline yang bernama Bridgefy. Aplikasi yang berasal dari Meksiko ini kini populer di masyarakat Myanmar dan telah diunduh lebih dari 600.000 kali saat pihak militer menutup sementara jaringan Internet terutama di wilayah sekitar Ibu Kota negara Naypyidaw.

Sumber: republicworld.com

Cara kerja Bridgefy sendiri terbilang cukup unik. Alih-alih menggunakan Internet, aplikasi ini memanfaatkan koneksi bluetooth untuk bisa saling terhubung. Mengetahui bahwa aplikasi mereka sedang dibutuhkan di Myanmar, pihak Bridgefy segera mengantisipasi adanya pengambilan data dari pihak ketiga dengan cara mengamankan setiap pesan di aplikasi tersebut agar tidak mudah dilihat selain oleh penggunanya alias sistem enkripsi.

Tidak hanya melalui aplikasi seperti Bridgefy, masyarakat Myanmar yang tidak mengikuti aksi demonstrasi secara langsung pun melakukan protes yang tidak biasa dari rumah mereka masing-masing. Protes dilakukan dengan mencoba membuat suara-suara dari alat masak, seperti wajan dan panci. Hal ini sendiri terjadi karena mereka ingin “suara” mereka didengar oleh pihak militer. Dari beberapa video yang beredar di internet juga diperlihatkan bahwa aksi ini serentak dilakukan di rumah-rumah masyarakat yang menentang kudeta.

Kita bisa melihat bahwa semakin ditutup sebuah akses informasi, maka dorongan untuk mendapatkan kembali hak berpendapat serta berkomunikasi secara virtual tersebut akan semakin besar. Masyarakat tak ragu untuk memutar otak mengingat pentingnya terhubung sembari membicarakan rencana selanjutnya mengenai masa depan demokrasi yang kini sedang sekarat di Myanmar.

Perlawanan akan terus ada sampai tuntutan masyarakat terpenuhi. Pertanyaannya, sampai kapan masyarakat Myanmar harus bertahan dari situasi seperti ini?